3
Saya Menyadari Kekuatan Saya
Pentingnya Menyajikan Persembahan di Saat-saat Tidak Pasti
Tak pernah sedikit pun terlintas dalam benak maupun hati saya untuk menunjukkan kepada seluruh dunia kekuatan yang saya miliki. Itu tidak akan pernah menjadi tujuan hidup saya. Sebaliknya, saya lebih suka menjadi “orang di balik layar”. Yang paling saya gemari adalah membaca dengan tenang di rumah atau menikmati lukisan. Gembar-gembor yang dilakukan media massa Jepang mengenai kekuatan yang saya miliki justru membuat saya merasa tidak enak.
Memang, yang saya inginkan agar dikenal oleh masyarakat luas bukanlah ke masyhuran atau nama besar. Tetapi, jika ada sesuatu yang saya dambakan, itu adalah keinginan besar untuk mengajak setiap orang menyadari bahwa masing-masing dari kita memiliki potensi untuk membuat hidup kita lebih baik dan semakin baik; juga sangatlah disayangkan bahwa kita tidak mampu menikmati kebahagiaan hidup itu karena kita tidak mengakui kehadiran para roh serta tidak menyampaikan rasa cinta kita kepada mereka.
Setelah mendengar langsung dari para roh apa yang mereka inginkan dari kita, dan mengetahui betapa sederhananya cara untuk membuat mereka senang, saya pun berusaha keras untuk menyampaikan semua yang saya ketahui itu melalui buku-buku, majalah, dan televise.
Saya kira, sejak dulu satu-satunya keinginan saya adalah mengajak sebanyak mungkin orang untuk mengenal dunia roh secara lebih baik. Tetapi karena mungkin masih kanak-kanak, segala sesuatu yang saya katakan dianggap angin lalu saja, dan hasilnya justru lebih sering runyam. Saya menyadari kekuatan yang saya miliki ketika usia saya baru enam tahun. Kanak-kanak pada usia itu tentu saja sia-sia untuk meyakinkan orang-orang dewasa tentang apa yang ia ketahui.
Saya Melihat Seseorang yang Tak Dapat Dilihat Ayah Saya
Saya ingat betul masa sebelum saya memasuki sekolah dasar. Pada masa-masa itu ayah biasa mengajak saya menonton pertunjukan di malam yang diterangi bintang-bintang. Menonton pertunjukan teater adalah salah satu cara mengisi waktu luang yang paling ia sukai. Ada satu kejadian yang membuat saya masih bisa mengingat dengan jelas salah satu kesempatan itu.
“Ayah, lihat tuh, ada orang berjalan disana”, saya ingat mengatakan itu sambil menarik-narik lengan mantel yang dikenakan ayah. “Ada orang perempuannya juga”.
“Mana? Kok, saya tidak melihat siapa-siapa”, jawabnya, tak menghiraukan tarikan-tarikan saya yang keras pada lengan mantolnya. Bertahun-tahun kemudian, saya baru menyadari bahwa saya telah melihat roh-roh yang tak terlihat oleh ayah saya.
Kadang-kadang, ketika saya sedang bermain sendirian di taman, seorang lelaki bermantel hitam, dengan pinggiran topi menutupi matanya, muncul di hadapan saya. Setelah mengalami kejadian seperti itu biasanya saya langsung menderita demam. Saya tidak pernah tahu siapa lelaki itu sebab ia tak pernah mengucapkan sepatah kata pun, tetapi saya tentu saja tak ingin lagi melihatnya –ia sangat tinggi, di mata seorang anak kecil seperti saya.
Lalu saya masuk sekolah dasar, dan saya tidak berbeda dengan teman-teman sebaya. Sampai saat kematian Ayako, sahabat saya, yang kemudian membawa kejadian-kejadian yang mengubah hidup saya, seperti telah saya ceritakan.
Saya adalah seorang anak yang jarang berbicara kepada orang lain, tetapi kadang-kadang saya akan mengejutkan orang-orang disekitar saya dengan mengeluarkan komentar-komentar yang sangat tak terduga.
Pada Suatu Hari di Kereta Api
Saya sering menemani ibu pergi ke kota naik kereta untuk berbelanja berbagai keperluannya. Saya senang duduk di sampingnya, dengan kedua tangan di atas salah satu lututnya, merapat manja padanya. Apabila saya lakukan itu, ia akan melingkarkan lengannya di bahu saya. Itulah yang selalu kami lakukan sewaktu duduk.
Tetapi, suatu hari, saya bertingkah lain. Setelah melepaskan diri dari lengan ibu saya, saya bergegas ke tempat seorang wanita yang duduk di seberang kami.
“Anda akan mendapat kecelakaan”, kata saya kepadanya. “Berhati-hatilah!” kata-kata yang sungguh kurang ajar, tetapi itu keluar begitu saja dari mulut saya.
Karena terkejut, wanita itu kehilangan kata-kata dan hanya menatap saya, matanya melotot. Bagaimanapun, ia belum pernah melihat saya.
Ibu saya cepat-cepat minta maaf. “Saya amat menyesal, saya tak tahu apa yang membuatnya mengatakan sesuatu seperti itu”, katanya. “Jangan hiraukan itu barang sejenak pun”.
Setelah tenang kembali, wanita itu tersenyum dan menepuk-nepuk kepala saya.
Akhirnya, kereta sampai di tempat pemberhentian wanita itu. Ketika ia pergi ke luar, saya berlari kepadanya dan mengulangi peringatan saya. Kali ini ia membelalakkan mata pada saya dengan marah dan turun tanpa sepatah kata.
Hari itu, saya menyusahkan hati bagi ibu saya.
“Kamu tak boleh mengatakan hal-hal seperti itu kepada orang-orang yang belum kamu kenal”, hardik ibu saya. “Hari ini kamu tak boleh jajan”.
Beberapa waktu kemudian, ketika insiden itu sudah terlupakan, kami pergi lagi naik kereta. Seorang wanita dengan penopang menaiki kereta, kakinya tertekuk dan dibalut rapat.
Ibu saya dan wanita itu bertemu mata dan saling menatap. Keduanya kehilangan kata-kata. Akhirnya ibu saya berdiri, dan wanita itu dengan berat hati pindah ke sampingnya, sambil menyeret kakinya yang dibalut.
“Pada hari ketika anak Anda memperingatkan saya, sesampai di rumah saya memangkas bambu. Tiba-tiba saya terpeleset dan jatuh di ujung bambu, yang begitu parah melukai kaki saya. Itu karena kesalahan saya sendiri. Seandainya saja saya mendengarkan gadis kecil Anda, kecelakaan itu tak akan pernah terjadi. Anda tak keberatan kalau saya ingin tahu alamat Anda, bukan?” tanyanya tajam.
Wanita itu kemudian menanyai saya macam-macam hal, minta nasehat mengenai ini itu.
Sesampai di Rumah, Menghitung Sepatu Dulu
Perlahan-lahan, cerita-cerita seperti itu tersebar di sekitar lingkungan kami tinggal. Semakin banyak saja orang berdatangan dan mencari saya untuk membicarakan beragam persoalan mereka. Ibu saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia berusaha mencegah keinginan orang-orang itu, dengan mengatakan kepada mereka bahwa ia ingin mengasuh saya sebagai seorang anak yang biasa-biasa saja, atau bahwa kami tidak “melakukan hal semacam itu dalam rumah ini”. Tetapi menghadapi orang-orang yang jelas-jelas datang dengan berbagai kesulitan dan membutuhkan bantuan, sungguh sulit bagi ibu saya untuk menolak, dan akhirnya menyerah pada keadaan itu.
“Aiko, kamu bisa mengatakan sesuatu kepada orang ini?” tanya ibu saya, seolah-olah keadaan seperti itu wajar-wajar saja. Tetapi, apabila ayah saya mengetahui apa yang terjadi, ia akan sangat marah. Ia akan mengomel begini, “Aku tak peduli siapa mereka. Kamu tidak boleh menemui mereka”.
Maka, apabila ayah sedang berada di rumah, ibu akan menolak siapa pun yang datang minta bantuan. Tentu sangat sulit bagi ibu untuk memenuhi tuntutan ayah: ibu saya adalah pribadi yang punya rasa belas kasih besar, yang sulit mengatakan tidak kepada siapa pun yang membutuhkan bantuan. Saya sering melihatnya menangis karena penderitaan orang lain; ia bahkan bisa menangis bila membaca penderitaan orang-orang dari buku atau surat kabar.
Deretan pengunjung yang tak kunjung habis itu saya rasakan sangat mengganggu, dan sedapat mungkin saya menghindari pembicaraan yang tak perlu dengan para tamu tak diundang itu. Bagi saya, bersikap tak acuh dan mengatakan sesuatu sekenanya kepada siapa pun yang belum pernah saya jumpai bukanlah masalah. Tetapi duduk dan mendengarkan beragam permasalahan dari orang-orang yang kesusahan adalah persoalan yang sama sekali berbeda.
Sepulang sekolah, saya akan menghitung sepatu yang ditinggalkan di balik pintu depan rumah kami, dan jika saya tahu ada beberapa di antaranya yang bukan milik keluarga saya, saya akan pergi hingga larut malam. Seringkali saya sangat lapar ketika akhirnya pulang. Tetapi rasa lapar lebih baik daripada harus berhubungan dengan orang-orang itu.
Sekitar satu mil dari rumah saya ada sebuah bukit kecil. Saya biasa mendaki bukit itu dan duduk di rumpun semak-semak. Jika saya duduk diam, suara Ayako datang pada saya dan menyampaikan banyak hal yang berguna: di mana pemakaman akan berlangsung, penyebab kematian orang yang meninggal itu, apa yang harus dilakukan agar rohnya senang. Saya justru belajar lebih banyak dari roh-roh daripada yang pernah saya pelajari di sekolah.
Diajar dan Dilindungi oleh Almarhum Adik Saya
Seperti telah saya katakan, saya punya seorang adik yang usianya dua tahun lebih muda daripada saya. Kami sangat dekat dan sering bermain bersama. Sebagai kakak, saya tak selalu bersikap sangat baik. Saya sering memperdayainya demi sesuatu yang menyenangkan yang ia peroleh dari ibu kami. Sebagai contoh, jika saya mengatakan, “Ayo kit abaca buku”, jawabnya akan selalu ya. Ia tak pernah melawan saya. Sebagai anak berumur dua tahun, ia sering menjadi korban olok-olok kakaknya yang jahil. Kalau dipikir-pikir, sampai masa saya mulai sekolah, hubungan saya dan adik saya mirip dengan hubungan antara seorang majikan dan pelayannya.
Adik saya itu meninggal pada usia 15 tahun. Bersama kakak saya yang meninggal dalam peperangan pada usia 20 tahun, ibu saya meninggal beberapa tahun lalu, dan teman saya Ayako, adik saya itu telah mengirimkan banyak pesan kepada saya selama bertahun-tahun, dan terus menasihati saya melalui cara yang dapat saya pahami dengan mudah mengenai masalah-masalah sehubungan dengan dunia roh.
Tiada henti saya berterima kasih atas perlindungan dari keempat roh itu. Jika bukan karena mereka, saya percaya orang yang sakit-sakitan seperti saya tak pernah mampu bertahan hidup lama.
Pada umur 21 tahun, saya menderita sakit ginjal yang nyaris membunuh saya, dan pada masa mengandung anak perempuan saya, saya kembali sakit berat. Saya benar-benar kehilangan kekuatan selama 17 tahun setelah masalah ginjal itu, dan jika bukan karena roh-roh pelindung saya, tak terbayangkan bagaimana mungkin saya bisa mengatasi beragam persoalan selama bertahun-tahun itu.
Setelah sembuh dari sakit, saya menyadari bahwa kekuatan-kekuatan yang menjengkelkan saya telah hilang dan selama 17 tahun berikutnya, saya hidup sebagai seorang ibu dan istri biasa. Tetapi, saya tahu bahwa roh-roh pelindung yang sama, yang telah membantu saya selama bertahun-tahun saat saya dapat berhubungan dengan penghuni dunia roh, terus berbuat demikian bahkan setelah saya kehilangan kemampuan itu. Ketika kekuatan saya sebagai medium kembali, saya putuskan untuk melakukan yang terbaik demi membuat orang-orang lain memahami roh-roh.
Keinginan Saya untuk Bercerita tentang Roh-roh kepada Orang Lain
Ada orang yang sama sekali tak bisa menerima gagasan tentang roh. Mereka tak dapat melihat roh, kata mereka, jadi mengapa harus percaya? Ada juga mereka yang berpendapat tentang roh-roh sebagai sesuatu yang menakutkan. Bagaimanapun, itulah gambaran paling umum mengenai roh yang tersebar di media massa.
Saya tak yakin sejauh mana usaha saya bisa mengubah pandangan yang dianut hampir semua orang di dunia itu. Bagaimanapun, saya merasa berjuang sendirian. Sekalipun terbayang berbagai kesulitan dalam memperjuangkannya, saya merasa terdorong untuk mengatakan yang sebenarnya mengenai dunia roh kepada orang-orang di sekitar saya. Saya mencoba melakukannya melalui sejumlah paket acara televise, tetapi tidak satu pun yang benar-benar memuaskan saya.
“Roh sama sekali bukan seperti yang Anda bayangkan!” Sering saya ingin berteriak begitu, tetapi saya sadar cuma sedikit saja yang dapat saya lakukan untuk mengubah pandangan mengenai dunia roh dengan akar-akar historis yang kuat.
Para produser program acara telivisi itu pun punya masalah mengenai topic itu: dituntut untuk menyajikan gambaran tentang sesuatu yang tak dapat mereka lihat dan yang sama sekali tak mereka ketahui, maka program acara yang mereka hasilkan pun hanya sebatas itu.
Sering orang mengatakan pada saya, “Pasti menyenangkan dapat berkomunikasi dengan roh-roh dan mengetahui hal-hal yang tidak diketahui orang lain”. Jangan percaya itu. Sekadar mengatakan pada orang-orang mengenai bakat khusus saya sudah cukup untuk memastikan suatu sambutan dingin dari banyak orang.
Selama bertahun-tahun saya tidak mengatakan apa-apa kepada anak-anak saya mengenai kemampuan saya berkomunikasi dengan roh-roh. Menjelaskan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dalam istilah-istilah ilmiah bukan pekerjaan mudah, dan saya percaya bahwa bersikap sebagai ibu dan istri yang biasa-biasa saja adalah sikap yang paling bijaksana.
Berkomunikasi dan bergaul dengan roh-roh selama bertahun-tahun telah mengajar saya tentang betapa para roh itu sangat membutuhkan perhatian serta cinta dari kita yang masih hidup, dan saya menjadi yakin bahwa kewajiban sayalah untuk membuat setiap orang menyadari kebenaran ini. Tetapi, memenuhi kewajiban itu berarti berhenti menjadi ibu biasa, dan diri saya pun akan terbagi antara memenuhi tugas istimewa dan mempertimbangkan perasaan anak-anak selama beberapa waktu.
Tahun-tahun sebagai “Wanita Biasa”
Saya tak pernah membicarakan pengalaman-pengalaman saya sebagai seorang medium dengan suami: ia termasuk orang yang hanya percaya pada segala sesuatu yang dapat dibuktikan secara ilmiah.
Saya menyimpan apa yang saya ketahui tentang dunia roh hanya untuk diri saya sendiri, dengan perasaan bersalah karena seolah-olah merahasiakannya. Bagaimanapun, kemampuan saya sebagai medium pudar saat saya berumur 21 tahun, dan itu berlangsung terus sampai saat saya menikah dan punya anak. Kalau ada artikel dalam majalah atau surat kabar yang berkaitan dengan spiritualisme dan fenomena adikodrati, saya akan bertanya pada suami saya apa pendapatnya mengenai masalah-masalah itu, sambil bersikap seolah-olah saya sendiri tak begitu berminat. Jawabannya selalu sama.
“Hal-hal semacam itu sama sekali tak mungkin terjadi. Orang yang percaya akan roh adalah orang yang sakit mental atau nyaris sakit mental”.
Baginya, dunia roh bukan topic yang perlu dibicarakan secara serius. Berhadapan dengan sikap seperti itu, saya memutuskan lebih baik tak mencoba berbicara tentang dunia roh, dan tidak menceritakan segala peristiwa yang pernah saya alami.
Tiga orang anak sudah saya lahirkan. Tahun-tahun pun berlalu. Kekuatan spiritual saya belum kembali. Kekuatan itu baru muncul kembali pada hari ketika anak bungsu saya menginjak usia empat tahun dan masuk taman kanak-kanak. Karena dua kakaknya bersekolah di tempat yang sama, saya pun tak ragu memasukkan si bungsu ke sekolah itu. Pada saat-saat sendirian, ketika anak-anak bersekolah, muncul perasaan dalam diri saya untuk bekerja; pekerjaan yang mungkin tak memerlukan waktu terlalu banyak. Tetapi saya sendiri tak punya gambaran pasti tentang jenis pekerjaan yang ingin saya lakukan. Harus saya akui, saya sangat disubukkan oleh anak-anak saya.
Pada Hari Anak Bungsu Saya Masuk Taman Kanak-kanak
Terjadilah pada hari saya mengantar anak perempuan saya terkecil ke taman kanak-kanak untuk pertama kali. Di pintu masuk, saya berlari-lari kecil menemui seorang teman yang sudah bertahun-tahun tak pernah bertemu. Kami dapat dikatakan sebaya, dan sama-sama untuk pertama kalinya memasukkan anak bungsu kami ke taman kanak-kanak.
“Aduuuh, sudah bertahun-tahun, bukan!” serunya, sambil menambahkan, “Kamu jadi lebih gemuk sekarang, bukan?”
“Kukira demikian, aku bermalas-malasan akhir-akhir ini!” jawab saya.
Setelah sedikit berbasa-basi, saya mengajaknya ke rumah untuk minum kopi. Ia langsung menerima ajakan saya. Sambil melepas rindu atas masa kanak-kanak kami yang “hilang”, kami duduk sambil menghirup kopi panas. Tetapi tiba-tiba saya melihat gambaran sebuah batu nisan yang runtuh muncul di belakang bahu kiri teman lama saya itu.
Selama beberapa saat daerah di belakang teman saya berubah menjadi pekuburan luas dan dinding rumah saya menjadi sebuah ladang. Atap, yang berwarna putih, kelihatannya berubah menjadi biru langit, dengan awan-awan putih halus melintas di atasnya. “Nyonya Hayakawa, apakah makam keluargamu seperti ini?” tanya saya sambil melukiskan pemandangan yang bersinar di depan mata saya. Jawabannya tidak mengejutkan.
“Ya… makam keluargaku ada di sana selama hampir seratus tahun. Tetapi bagaimana mungkin kau dapat mengetahuinya padahal kau tak pernah pergi ke sana?” jawabnya berhati-hati.
“Ada tanaman padi di samping makam itu, kira-kira setinggi ini”, lanjut saya, sambil mengangkat tangan dalam jarak sekitar empat inci. Nyonya Hayakawa duduk terpaku, matanya berputar-putar pada waktu itu. “Satu dari batu nisan itu telah runtuh”.
Untuk waktu yang cukup lama Nyonya Hayakawa memang tidak mengunjungi rumah keluarganya. Tetapi ia mengatakan seandainya dapat menelepon ke rumah itu sekarang, ia bisa berbicara kepada saudaranya. Ia menelepon saudaranya dengan telepon dari rumah saya. Dengan tersengal-sengal, Nyonya Hayakawa meminta saudaranya untuk pergi dan memeriksa makam keluarga. Tidaklah mengherankan bahwa ia ingin tahu apakah penglihatan saya benar.
Beberapa waktu berlalu, dan akhirnya telepon di rumah saya bordering. Telepon dari saudara Nyonya Hayakawa untuk mengkonfirmasikan bahwa salah satu batu nisan memang telah roboh, mungkin akibat ulah anak-anak jalanan, ia menduga. Tetapi batu nisan tersebut rupanya bukan perhatian utamanya.
“Siapa atau wanita macam apakah Gibo itu? Bagaimana ia mengetahui hal semacam itu?” desaknya, jelas terguncang dan memutuskan pembicaraan. Sambil mendengarkan, mata Nyonya Hayakawa tak pernah lepas dari saya.
“Ya, sesungguhnya manusia macam apakah kamu?” tanyanya, lantas pergi.
Roh-roh Kembali kepada Saya
Segera saya mulai khawatir. Apa yang akan saya lakukan sekarang karena kekuatan saya kembali? Tak diragukan lagi, kata saya kepada diri sendiri, saya telah kembali melihat dunia roh, penglihatan yang dulu saya alami hampir tiap hari telah kembali. Setidaknya, perasaan saya jadi tidak keruan.
Saya panik. Apakah anugerah itu kembali kepada saya untuk selamanya? Bagaimana kalau suami saya tahu? Haruskah saya memberitahunya, dan apakah ia malah akan mengira saya ini gila? Atau, haruskah saya menyimpannya sebagai rahasia? Tetapi dapatkah saya hidup dengan rahasia semacam itu? Dan bagaimana jika Nyonya Hayakawa menyebarkan kejadian tentang makam itu kepada orang lain? Bukan berarti seolah-olah saya telah melakukan sesuatu yang salah, tetapi bagi anak-anak –betapa hal itu akan mempengaruhi diri mereka? Setumpuk pertanyaan bermunculan di benak saya.
Akhirnya, tiba saatnya menjemput anak bungsu saya dari sekolah. Dengan amat berat dan letih saya berjalan pulang, tak mampu memberikan perhatian kepada anak saya yang dengan penuh gairah menceritakan pengalaman hari pertamanya di taman kanak-kanak.
Setelah 17 tahun menghilang, kekuatan spiritual saya kembali. Sekarang saya berumur 37 tahun. Semenjak hari itu, pada waktu-waktu yang tak terduga pun, saya diganggu oleh tamu-tamu tak diundang, yang tetap saja ngotot ingin bertemu sekalipun saya bersikap tak mengacuhkan mereka. Tidak lama kemudian, anak-anak saya pun tahu tentang kemampuan saya sebagai medium, padahal saya sudah berusaha sedapat mungkin untuk menyembunyikannya dari mereka. Sebetulnya saya punya rencana untuk membuka masalah ini kepada anak-anak saya ketika mereka sudah lebih besar, saat mereka mampu menerimanya sebagai suatu masalah yang serius.
Kamis, 27 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar