Sabtu, 15 September 2007

Manusia Tidak Mati

MANUSIA
Tidak Mati
Pengalaman spiritual
Berhubungan dengan roh-roh




“Sebagai seseorang yang sejak kecil sudah melihat
roh-roh dan berkomunikasi dengan mereka, saya tidak
lagi bisa menerima pendapat umum bahwa jiwa manusia
lenyap begitu saja seiring dengan lenyapnya tubuh”


Aiko Gibo

KATA PENGANTAR
Oleh : Colin Wilson


Di bulan Februari 1992, sebuah perusahaan televise Jepang meminta kesediaan saya untuk membuat sebuah paket acara bersama seorang medium* bernama Aiko Gibo. Pihak perusahaan televise itu menjelaskan bahwa di Jepang Aiko diyakini sebagai seorang medium yang paling diakui kehebatannya, dan pada saat itu ia sedang melakukan perjalanan keliling dunia bersama tim televise untuk memperlihatkan kemampuannya itu. Mereka juga meminta saya untuk memilihkan sebuah rumah angker di Inggris sebagai lokasi wawancara saya dengan Nyonya Gibo. Atas permintaan itu, saya pun mengusulkan sejumlah rumah angker. Ternyata perusahaan televise itu memilih sebuah pub angker –King’s Cellars– di Croydon, London selatan. Pilihan itu menyenangkan saya, sebab saya sendiri pernah mengadakan penyelidikan ke dalam pub itu sekaligus menulis tentang tempat tersebut dalam buku saya berjudul Poltergeist.

Saya mulai tertarik pada segala hal yang berkaitan dengan roh ketika umur saya hamper empat puluh. Sebelumnya, saya pernah menulis tentang filsafat eksistensial – mengenai problem yang oleh H.G. Wells diringkas dalam judul Apa yang seharusnya kita lakukan dengan Kehidupan Kita? Buku pertama saya, The Outsider, berbicara tentang orang canggung yang merasa bahwa kehidupan ini dimaksudkan bagi sesuatu yang lebih tinggi daripada sekadar menjadi bahagia. Saya terutama ter tarik akan berbagai pengalaman iluminasi mistik, ketika makna alam semesta tiba-tiba tampak jelas.

*Catatan kata “medium” di sini adalah terjemahan kata psychic. Tetapi, seperti nanti bisa And abaca dalam seluruh buku ini, Nyonya Aiko Gibo tidak pernah sampai tak sadarkan diri selama proses dihubungi oleh roh-roh, seperti yang umumnya terjadi pada diri seorang medium. Ia melihat gambaran yang dimunculkan oleh roh-roh melalui mata kirinya yang nyaris buta, dan mendengarkan semua yang dikatakan roh-roh itu melalui telinga kanannya yang nyaris tuli. Roh-roh tidak pernah menggunakan tubuh Nyonya Gibo sebagai medium, seperti yang umumnya dialami seorang medium (-penyunting).

Ketika diminta menulis sebuah buku tentang klenik, pada mulanya saya skeptic, sebab saya sendiri merasa bahwa sebagian besar pengalaman yang paling batiniah pun dapat dijelaskan sebagai tipuan atas diri sendiri. Tetapi ketika mulai mempelajari lusinan kasus tentang ahli tenung, peramal, telepati, dan tempat-tempat berhantu, sadarlah saya bahwa sikap skeptis saya berdasarkan ketidaktahuan belaka. Ada banyak sekali bukti nyata tentang klenik. Lagi pula, karena kenyataan itu rupanya membuktikan bahwa pikiran manusia memiliki kekuatan mengenai hal-hal yang tak kita sadari, persoalan itu jadi relevan juga dengan pertanyaan saya mengenai makna eksistensi manusia.

Mulanya saya menyangsikan pendapat bahwa manusia tetap hidup setelah kematiannya. Tetapi, sekali lagi, studi terhadap ratusan kasus menyakinkan saya bahwa bukti mengenai hidup sesudah mati betul-betul kuat.

Di tahun 1980, ketika saya meneliti sebuah buku tentang poltergeist –atau “hantu-hantu yang menimbulkan kegaduhan di suatu tempat”- saya mendengar tentang pub King’s Cellars di Croydon, tempat hantu-hantu membanting botol-botol dan gelas-gelas, serta kadang kala menyebabkan air kloset tergelontor padahal tak ada seorang pun di sana. Pada suatu kunjungan ke pub tersebut, saya menyaksikan sendiri semua itu. Biasanya, gangguan yang disebabkan oleh hantu-hantu tersebut berlangsung paling lama satu tahun. Oleh karena itulah saya terkejut mendengar kabar bahwa hantu-hantu di Croydon masih aktif sampai sekarang. Itu pula sebabnya saya tidak ragu-ragu mengusulkan pub Croydon ketika diminta memilih lokasi untuk mewawancarai Nyonya Gibo.

Pada hari Minggu, 1 Maret, saya mennggu kedatangan tim televise di sebuah hotel di tengah kota London. Mereka tiba sekitar tengah hari dan saya diperkenalkan pada Nyonya Gibo. Saya heran bercampur senang. Karena suatu alasan yang tak masuk akal, gambaran umum mengenai seorang medium adalah fisik mereka yang kurang menarik –seringnya berhubungan dengan roh-roh biasanya membuat seorang medium luar biasa gemuk. Aiko Gibo adalah seorang wanita menarik yang memancarkan rasa humor dan vitalitas. Kemampuannya berbahasa Inggris baik sekali. Sementara menunggu produser, Nyonya Gibo menceritakan pada saya bagaimana ia menjadi seorang medium –seseorang yang mampu berhubungan dengan roh-roh.

Sebagai kanak-kanak, ceritanya, ia pendiam dan lebih suka menyendiri. Salah seorang dari sedikit teman dekatnya pada masa itu adalah Ayako, teman mainnya sepulang sekolah. Ketika secara mendadak Ayako meninggal, pada umur enam tahun, Aiko sangat terpukul. Ia semakin menarik diri lagi. Kemudian, pada suatu hari, ketika sedang bermain sendirian, ia mendengar suara Ayako berkata: “Kamu lagi ngapain?” Dan tiba-tiba, Ayako berada di dalam ruangan itu bersamanya.

Dengan keluguan seorang kanak-kanak, Aiko menerima fenomena aneh itu. Itu semata-mata membuktikan apa yang selalu ia rasakan: manusia tidak mati. Kemudian ia semakin terbiasa bercakap-cakap dengan Ayako, dan segera ia sadari bahwa temannya itu dapat meramal tentang masa depan. Antara lain Ayako pernah mengatakan pada Aiko bahwa hari berikutnya seorang lelaki akan tenggelam di sungai. Esoknya, hal itu terjadi, persis seperti yang diramalkan Ayako.

Dapatlah dimengerti bahwa orang tua Aiko sangat gelisah melihat sikap anak perempuan mereka yang amat berbeda dengan anak-anak sebayanya. Mereka meminta Aiko untuk tidak menceritakan pengalaman-pengalamannya yang aneh. Aiko menurut. Orang tuanya lebih suka bila ia menjadi anak yang biasa-biasa saja. Ketika umur Aiko mencapai akhir belasan tahun, keinginan mereka terkabul. Seperti remaja belasan tahun lainnya, Aiko ingin menikmati hidup dan bertemu dengan banyak orang. Ketika ia menjadi semakin asyik dengan kehidupan sehari-hari, kekuatannya sebagai seorang medium berangsur-angsur hilang.

Aiko menikah dengan seorang pengusaha. Kesibukan mengurus suami dan mengasuh tiga orang anak mengubahnya menjadi seorang realis, yang tidak punya waktu untuk dunia yang tak tampak. Dari umur 21 sampai 37, ia tak lagi mengalami pengalaman-pengalaman spiritual. Hingga pada suatu hari, kekuatan itu kembali sepenuhnya.

Anak lelaki bungsu Nyonya Gibo berumur empat tahun dan sudah mulai masuk taman kanak-kanak. Pada suatu hari, ketika Aiko sedang minum teh bersama seorang teman bernama Nyonya Hayakawa, tiba-tiba ia “melihat” kota kediaman Nyonya Hayakawa, tiga ratus kilometer jauhnya dari tempat mereka minum teh. Ia juga melihat sebuah makam yang salah satu batu nisannya, dan seorang lelaki tua berjenggot putih panjang, berkimono, yang mengeluh karena makamnya dibiarkan rusak dan tidak diperbaiki. Aiko memaparkan tentang makam dan lelaki tua itu kepada Nyonya Hayakawa, yang kemudian berkata dengan heran, “Sepertinya itu kakek saya”. Tetapi sejauh yang diketahuinya, makam itu dalam keadaan baik. Nyonya Hayakawa menelepon saudaranya, yang tinggal sangat dekat dengan makam itu. Saudaranya itu segera menelepon kembali untuk mengatakan bahwa batu nisan kakek mereka telah tercabut dari tanah, kelihatannya dilakukan oleh seorang perusak.

Malam itu, Nyonya Hayakawa bermimpi tentang kakeknya yang sedang sangat marah. Tetapi ketika makam diperbaiki seperti keadaan semula, Nyonya Gibo bisa melihat bahwa sekarang kakek itu puas; rohnya kembali dalam kedamaian.

Ketika Nyonya Gibo mengatakan kepada ibunya bahwa kekuatan paranormalnya kembali, ibunya mengeluh, “Oh, tidak!” dan tak mau berbicara dengannya selama tiga hari.

Sampai di sini, pembicaraan Nyonya Gibo terpotong oleh kedatangan produser, dan kami pergi makan siang. Kemudian pada sore hari itu, sebuah bis membawa kami semua ke Croydon untuk mengunjungi King’s Cellars.

Ternyata pub itu telah berganti nama menjadi Goody’s. Karena hari itu hari Minggu, pub tutup. Bar berhantu ada di lantai dasar. Pemiliknya, seorang gadis cantik bernama Tracy, membawa kami turun ke sana.

Begitu kami mulai menuruni tangga, Nyonya Gibo berhenti dan berkata, “Saya bisa melihat seorang lelaki terbaring di kaki tangga”. Mendengar itu, saya jadi sadar bahwa saya telah melanggar salah satu peraturan pertama dalam riset mengenai masalah dunia roh, karena sebelumnya saya sudah mengatakan pada Nyonya Gibo bahwa lelaki pemiliknya ditemukan meninggal di kaki tangga. Oleh sebab itu, saya berpendapat bahwa penglihatannya tidak bisa dipandang sebagai bukti yang meyakinkan.

Ketika kami sampai di bar itu, Nyonya Gibo berhenti lagi dan membelalak. “Seorang gadis baru saja melintasi ruangan dan menghilang di balik dinding itu”. Saya memintanya untuk melukiskan dengan tepat dari mana datangnya gadis itu, dan ia menunjuk dinding di belakang bar. Saya pergi ke belakang bar itu untuk melihat apakah mungkin pernah ada sebuah pintu di sana, tetapi jelas bahwa yang ada di situ hanya dinding.

Saya mewawancarai Nyonya Gibo di depan kamera. Sesudah itu saya mewawancarai Tracy di belakang bar itu. Ia menceritakan kepada saya bahwa hantu yang suka mengganggu itu masih aktif –gelas-gelas sering jatuh dari meja dan pecah, dan pada saat lain pompa bir mulai bekerja sendiri dan menumpahkan bir ke lantai.

Sampai di situ, kamera berhenti untuk penggantian film. Saya berdiri sendirian di belakang bar, sambil berbicara dengan Tracy. Sejak saat itu, harus saya akui bahwa skeptisisme saya benar adanya, dan saya mulai merasa bahwa semua itu hanya membuang-buang waktu saja. Walaupun tidak meragukan ketulusan Nyonya Gibo, saya mulai berpikir-pikir apakah ia tidak membiarkan imajinasinya dipengaruhi oleh apa yang telah saya katakan padanya. Bagaimanapun, sangatlah tidak lazim bahwa gangguan oleh hantu bisa berlangsung sampai sepuluh tahun.

Sementara saya berdiri sambil berbicara dengan Tracy, terdengar dentingan keras di belakang saya. Saya berbalik dan melihat sebuah gelas yang berat telah jatuh ke lantai. Untuk sesaat saya sempat berpikir jangan-jangan gelas itu tersenggol mantol panjang yang saya kenakan. Tetapi saya sadar itu ditaruh di rak-rak kecil di bagian bawah meja layan; jaraknya paling tidak satu meter dari tempat saya berdiri. Saat itu hanya ada saya dan Tracy di belakang bar itu, dan tidak mungkin ada orang lain dari sisi lain yang bisa menyebabkan jatuhnya gelas. Tiba-tiba, dengan rasa terkejut, saya menyadari bahwa hantu itu membuktikan keberadaannya pada saya.

Cepat-cepat saya memanggil produser, dan kamera mengambil gambar saya yang sedang mengambil gelas. Sementara itu, Maurice Grosse, teman peneliti dari Society for Psychical Research, mengatakan bahwa ia melihat gelas itu jatuh dari rak seakan-akan ada yang mendorong. Ia berdiri di sebelah paling ujung meja bar itu sambil minum segelas anggur, dan bisa menyaksikan saat gelas itu bergerak sendiri.

Saya berbalik dan membungkuk di atas lantai tempat gelas tadi jatuh yang kini sudah bersih dari serpihan beling, sambil berkata, “Terima kasih”. Tiba-tiba, rasa skeptis saya hilang.

Sepuluh menit kemudian, ketika kami selesai membuat film, saya mampir lagi ke meja bar untuk minta segelas anggur lagi. Saat itu Tracy sedang berdiri dan bercakap-cakap dengan seorang teman wanitanya. Menurut apa yang saya dengar, mereka sedang membicarakan pemilik tempat itu yang telah meninggal. Sampai saat itu saya tidak bisa memperoleh informasi tentang sang pemilik yang telah meninggal itu –namanya pun tidak- dan dalam buku Poltergeist pun ia hanya disebut-sebut sebagai pemilik pub ini. Sekarang saya mendengar Tracy menyebutnya sebagai Bernard, lalu saya bertanya kepadanya dari mana ia tahu nama itu.

Tampaknya Tracy mengetahui nama itu secara kebetulan belaka. Seminggu sebelumnya alat pemadam api tidak berfungsi dengan semestinya. Label pada alat pemadam itu mencantumkan alamat perusahaan yang mengurusnya. Ketika Tracy menelepon perusahaan itu dan memberikan alamatnya, gadis yang menerima teleponnya berkata, “Bukankah tempat ini dulunya bernama King’s Cellars? Saya pernah bekerja di sana sekitar tahun enam puluhan”. Kemudian Tracy bertanya apakah gadis itu tahu sesuatu tentang hantu-hantu di tempat itu. “Hantu itu adalah si pemilik tempat itu sendiri yang bernama Bernard. Pada suatu hari Minggu, ia pulang larut malam dalam keadaan mabuk berat, lalu terjatuh di tangga. Ia ditemukan pagi harinya, lehernya patah”. Kemudian Tracy bertanya apakah mungkin ada juga hantu-hantu yang lain. “Ya, hantu dari seorang gadis yang bunuh diri. Ia bertengkar dengan pacarnya di pub dan kembali bekerja di gedung yang bersebelahan dengan pub itu. Beberapa saat setelah bertengkar dengan pacarnya itu, si gadis menjatuhkan diri dari atap. Tubuhnya jatuh di atap pub dan ia tewas”.

Saya amat senang, dan cepat-cepat mengatakan kepada si produser apa yang baru saja saya dengar. Kami tidak hanya jadi tahu nama bekas pemilik tempat itu, tetapi juga sesuatu mengenai gadis yang telah dilihat Aiko Gibo. Selain itu, kami punya seorang saksi yang pernah bekerja di pub itu, yang dapat menceritakan pengalamannya di depan kamera.

Satu jam kemudian, Nyonya Gibo dan saya sampai di hotel tempat kami menginap. Sementara itu, kru kamera yang tidak merasa ngeri bersiap-siap untuk berjaga sepanjang malam di bar itu, untuk memfilmkan penampakan apa pun yang bakal terjadi. Tahu bahwa hantu-hantu pembuat gaduh itu terkenal malu dipotret, saya merasa yakin usaha yang dilakukan kru juru kamera itu hanya membuang-buang waktu saja. Ternyata benar. Esok paginya, mereka kembali ke hotel, lelah dan kecewa. Hantu itu, seperti yang saya duga, tak mau “beraksi”.

Tetapi saya, sekurang-kurangnya, telah memberikan bukti mengenai hantu-hantu pembuat gaduh itu –dan tentang kekuatan luar biasa yang dimiliki Nyonya Aiko Gibo.

Tidak ada komentar: