2
Anda Dapat Mengubah Nasib Anda
Mengapa Orang-orang Baik Ditimpa Kemalangan?
Kita Semua pernah mendengar orang-orang berkata, “Mengapa sesuatu yang begitu buruk harus terjadi pada orang sebaik dia?”, atau “Mengapa ini terjadi pada saya? Saya tak pernah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain!” Jika Anda merasa demikian, saya ingin Anda bertanya kepada diri sendiri: tahukah Anda, seperti apa nenek moyang Anda dua atau tiga generasi sebelum Anda?
Kita, manusia, adalah makhluk yang penuh persoalan, mudah disesatkan oleh emosi kita. Bahkan jika seseorang merasa telah menempuh hidup tanpa cela, itu tidak berarti bahwa salah seorang leluhurnya tidak bersikap acuh tak acuh dan meremehkan, atau kurang menghargai roh-roh. Lewat satu contoh, saya akan memulai cerita tentang dua anak muda yang menderita kemalangan luar biasa bukan karena kesalahan mereka sendiri.
Sebuah keluarga dengan nama Hayashi hidup di sebuah rumah besar di lingkungan tempat kami tinggal. Keluarga ini dikenal sebagai “jutawan local”. Mereka mempekerjakan seorang tukang kebun untuk mengurus tanah milik mereka yang luas. Hasil kerja tukang kebun ini sangat mengagumkan; bunga-bunga beraneka warna di kebun itu mengundang decak kagum orang-orang yang melihatnya. Rumah tinggal keluarga itu begitu besar, sehingga mereka sanggup mempekerjakan tiga orang pembantu rumah tangga yang tinggal di sana.
Keluarga Hayashi memiliki anak laki-laki bernama Katsuo. Ia anak tunggal, dan kami sungguh iri kepadanya. Bagaimanapun, kami berasal dari keluarga miskin dan kami harus berebut dengan sejumlah besar saudara untuk memperoleh perhatian orangtua kami. Setiap kali Katsuo ingin meninggalkan rumah, selalu ada seorang pembantu yang siap mengantarnya sampai pintu dengan sikap membungkuk penuh hormat. Sebuah limusin membawanya ke sekolah, suatu kemewahan yang belum pernah terdengar pada masa itu.
Suatu ketika, rumah tangga Hayashi ditimpa musibah besar dan terasa amat mendadak: orangtua Katsuo jatuh sakit dan meninggal karena suatu penyakit menular. Adik lelaki sang suami dan keluarganya pindah ke rumah itu seminggu setelah suami-istri Hayashi dimakamkan, dan itu terjadi tak lama sebelum suatu tragedy lain menimpa kembali.
Keluarga ini punya dua anak lelaki. Yang tertua seusia Katsuo. Akan tetapi, Katsuo jauh lebih cerdas daripada sepupunya, dan selalu lulus ujian dengan gemilang, sehingga ia dinilai layak masuk ke sekolah-sekolah paling bergengsi.
Ketika tiba masanya memasuki sekolah lanjutan tingkat pertama di Jepang, semua orangtua berharap agar anak-anak mereka bisa diterima di sekolah paling bergengsi. Oleh karena itu, sangat sukarlah bagi istri sang adik untuk dengan sepenuh hati memperhatikan anak almarhum saudara sepupunya, sebab anak kandungnya sendiri harus berjuang keras untuk lulus ujian. Maka, ia mulai mengusik Katsuo dengan mengatakan bahwa ia belajar terlalu keras, atau tak perlulah baginya untuk masuk sekolah bergengsi. Dengan rasa dengki, ia mengubah sebuah gudang kecil di sudut paling utara rumah raksasa itu menjadi sebuah kamar untuk Katsuo.
Keluarga ini rupanya telah lupa akan janji-janji yang mereka ucapkan kepada orangtua Katsuo untuk mengasuh anak itu sebagai ganti kekayaan dan harta benda, dan rupanya mereka memutuskan untuk membuat hidup Katsuo lebih menderita. Bagaimana bentuk perlakuan mereka terhadap anak itu tetap merupakan misteri, tetapi saya ingat betul bahwa Katsuo mulai kelihatan menjadi kurus dan pucat. Ia jadi tampak sebagai anak yang sungguh-sungguh berbeda. Menurut para pelayan, Katsuo tak pernah kuat untuk bangkit. Bahkan ketika ia terbaring di tempat tidur karena demam, suami-istri itu tidak memberinya obat. Perlakuan yang tak manusiawi semacam itu memperburuk demam yang telah diderita, dan anak yang malang itu meninggal dunia tanpa diketahui.
Kutukan Seakan-akan Ditimpakan pada Mereka
Kepribadian kedua anak keluarga ini sungguh bertolak belakang dengan kepribadian orangtua mereka. Kedua anak itu ramah; orang-orang di lingkungannya menyukai mereka. Ketika dewasa, tibalah saatnya bagi kedua anak itu untuk meninggalkan rumah dan mengarungi kehidupannya sendiri.
Akan tetapi, yang menanti mereka adalah kehidupan penuh kemalangan, seolah-olah seseorang telah mengutuk mereka. Si anak sulung memulai suatu bisnis dengan modal uang yang diberikan oleh orangtuanya. Tetapi ketika baru saja mulai memperlihatkan kemajuan dan mulai berkembang, usahanya itu diambil alih oleh seseorang yang semula ia anggap sebagai mitra yang dapat dipercaya. Segera setelah itu, si sulung amat terkejut mendapatkan dirinya ternyata dililit utang yang begitu besar.
Adiknya juga menjalankan usahanya sendiri. Sayangnya, rumah yang ia sewa sebagai tempat usaha terbakar habis karena suatu kecelakaan yang ganjil.
Hanya kebetulankah? Bukan, kalau hari saat si sulung ditipu habis-habisan dalam bisnisnya dan hari saat rumah adiknya terbakar habis adalah persis hari peringatan meninggalnya Katsuo.
Keinginan untuk meninggalkan warisan, dalam bentuk apa pun dan dalam jumlah sekecil apa pun, kepada anak-anak merupakan sesuatu yang lazim. Tetapi jika dalam proses penyediaan warisan itu Anda mengorbankan kesejahteraan orang lain, anak-anak Anda tidak akan mungkin dapat hidup bahagia.
Roh-roh yang Dilupakan Memohon kepada Anak Cucu Mereka
Ada sebuah contoh mengapa orang-orang baik bisa saja menderita kemalangan. Ini masalah lain, dan menyangkut roh-roh yang pantas menerima perhatian kita. Ada orang yang, karena asyik dengan kesibukan sehari-hari, tak bersedia atau lupa mengunjungi makam orangtuanya; ada juga orang yang, ketika orangtuanya meninggal, acuh tak acuh terhadap kematian sanak saudara atau bahkan terhadap kehidupan mereka sendiri.
Banyak roh ditolak atau dilupakan oleh keluarga mereka. Mereka terluka karena kesepian tak tertahankan. Mereka berseru kepada keluarganya untuk mengirimkan sepatah doa cinta kepada mereka. Perhatian seperti itulah yang pertama-tama dituntut oleh para roh. Setelah merasa mendapat perhatian yang layak, barulah para roh mau membantu anak cucu mereka untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan makmur.
Jika ada orang yang bisa hidup bahagia walau ia mengesampingkan keberadaan roh-roh leluhurnya, itu berarti ia melupakan roh-roh leluhurnya yang boleh jadi menderita kesepian selama perjalanannya menuju dunia lain.
Roh-roh yang mengalami penderitaan seperti itu kemudian akan berusaha menarik perhatian keturunannya, karena mereka percaya masih ada kesempatan bagi mereka untuk dikenang. Biasanya mereka akan berupaya sampai keluarga mereka berpikir, “Bagaimana mungkin begitu banyak hal buruk terjadi secara beruntun?” dan akhirnya, “Apa yang sedang ingin disampaikan oleh roh salah seorang leluhur saya?” Itulah saat ketika orang-orang cenderung bertanya-tanya, “Mengapa sesuatu yang begitu buruk terjadi pada orang sebaik dia?”
Berpikirlah ke belakang sampai ke generasi kakek-nenek Anda. Apakah Anda punya bibi atau paman yang meninggal pada usia muda? Kalau memang ada, belum terlambat bagi Anda untuk mulai memperhatikan mereka. Roh-roh selalu siap menerima perhatian dan persembahan tulus Anda. Yang perlu Anda lakukan sederhana saja: kumpulkan bunga-bunga, boleh juga yang liar, secukupnya dan masukkan bunga-bungaan itu ke dalam sebuah gelas, lalu letakkan di sudut meja, juga segelas air. Sambil melakukan ini, jangan lupa Anda katakan, “Semua ini saya persembahkan bagi roh yang selama ini saya lupakan”.
Orang yang Beruntung, Orang yang Malang
Kegagalan dan keberhasilan dalam hidup biasanya membuat orang berpikir mengenai nasibnya. Ada orang-orang yang keberuntungannya tampak sangat kuat. Dengan kata lain, orang-orang itu terus-menerus bernasib baik. Sementara itu, ada juga orang-orang yang tampaknya tak pernah berhasil baik walaupun mereka sudah berusaha keras; keberuntungan mereka bisa disebut lemah. Leluhur orang-orang yang dianugerahi nasib baik kemungkinan besar dulunya adalah orang-orang yang mau berkorban demi menolong orang lain serta memiliki rasa hormat yang besar terhadap leluhur mereka sendiri. Dengan demikian, mereka berhasil mengembangkan gudang keberuntungan bagi anak cucunya.
Oleh karena itu, orang-orang yang percaya bahwa keberuntungannya kuat harus berupaya sebisa mungkin untuk menjaga gudang nasib baik itu bagi keturunannya. Cara yang paling baik untuk melakukan hal itu adalah dengan mengirimkan perhatian penuh kasih sayang kepada salah seorang leluhur, dan dengan tidak membiarkan diri kita diracuni oleh perasaan dengki atau sakit hati terhadap sesama yang masih hidup. Jangan pernah lupa bahwa cara kita menjalani hidup kitalah yang paling menentukan apakah anak cucu kita akan dilimpahi nasib baik atau tidak.
Jika kita lalai akan fakta ini dan terbuai oleh rentetan nasib baik, lalu tak bersedia memperhatikan orang lain dalam proses itu, dengan segera kita akan mengosongkan gudang keberuntungan yang telah diwariskan leluhur kita, dan anak cucu kita pun akan kehilangan kesempatan untuk menikmati keberuntungan itu.
Bagaimanapun, sebagai manusia, suatu saat kita pasti akan membuat kesalahan besar tanpa menyadarinya. Oleh karena itu, pentinglah untuk bersikap kritis terhadap diri kita sendiri agar kita tetap bersikap wajar; juga janganlah kita lupa untuk mengucapkan rasa syukur kepada leluhur kita.
Kita tentu pernah mendengar seseorang yang hampir selalu menang undian atau menang taruhan dalam bentuk apa pun. Jangan keliru, keberuntungan seperti ini tak sedikit pun punya kaitan dengan kemurahan hati para roh. Maka, jika ada dari antara pembaca buku ini yang berpikir untuk memberikan penghormatan kepada leluhurnya hanya dengan harapan untuk menang undian atau taruhan, saya pasti akan mengatakan kepada mereka untuk tak usah membuang-buang waktu. Kedua keberuntungan yang tadi saya kemukakan sama sekali tak saling berhubungan. Sejauh yang bisa saya lihat, keberuntungan yang membuat seseorang hampir selalu tepat melakukan tebakan adalah keberuntungan yang sifatnya sementara dan kebetulan belaka, sehingga bukan merupakan keberuntungan yang sunguh-sungguh bermakna.
Bangsa Jepang punya sebuah ungkapan yang secara harfiah bisa diartikan “dirasuki oleh setan”. Ungkapan itu merujuk pada pikiran jahat atau tindakan yang sedemikian tak bermoral yang dimiliki atau dilakukan oleh seseorang, sehingga orang itu seolah-olah dirasuki oleh setan. Tetapi ungkapan itu tidak bisa diartikan begini: “setanlah yang memaksa saya berbuat begitu”, yang terasa lebih ringan. Saya selalu merasakan ungkapan Jepang itu sarat dengan nuansa supernatural.
Ada orang yang selalu beranggapan bahwa setanlah yang merasuki diri mereka sehingga mereka melakukan hal-hal yang merugikan. Padahal, semua itu terjadi karena mereka sendiri bertindak sembrono, dan alasan “dirasuki setan” hanya sekadar ingin melepaskan tanggung jawab. Lain halnya bila sesuatu yang tidak enak menimpa seseorang yang selalu bersikap penuh pertimbangan, barulah istilah “dirasuki atau dipengaruhi oleh setan” bisa diterima.
Bila seseorang mempertimbangkan segala sesuatunya dengan sikap sabar dan tenang, roh pelindungnya akan melakukan apa saja yang dapat dilakukan untuk membantu orang tersebut membuat keputusan terbaik. Orang yang mengambil keputusan dalam keadaan sangat emosional atau sangat tertekan akan sangat mungkin melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan. Itu bukan karena setan merasuki dan menghalangi kemampuan mereka untuk membuat keputusan yang tepat, melainkan lebih karena mereka membiarkan diri mereka masuk dalam keadaan ketika roh pelindung mereka tak dapat mengawasi mereka. Oleh karena itu, dalam keadaan bagaimana pun kita tetap harus berkepala dingin.
Kemungkinan besar lain yang juga akan membuat kita cenderung melakukan keputusan yang buruk adalah apabila leluhur kita lalai memberikan penghormatan kepada roh-roh –ini berarti kita tak akan mempunyai roh pelindung yang kuat untuk membantu kita.
Orang sering bicara tentang sesuatu yang “kebetulan” terjadi, atau berkata bahwa mereka “ditakdirkan” bernasib malang. Tetapi segala sesuatu yang terjadi selama hidup kita berkaitan, melalui cara tertentu, dengan hubungan yang sangat penting antara diri kita sendiri dan leluhur kita.
Kita tidak pernah terlambat untuk mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik. Cobalah untuk memperhatikan roh-roh leluhur Anda atau roh-roh orang-orang yang Anda sayangi. Sajikanlah persembahan kecil bagi mereka. Sesungguhnya, roh baik hati. Mereka akan menerima semua pesan cinta Anda dengan penuh rasa terima kasih, dan akan berbuat sebaik mungkin untuk membimbing serta ikut menanggung beban Anda.
Rabu, 19 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar