1
Roh Sungguh Ada
Kematian Bukanlah Akhir
Sebagai seorang yang sejak kecil sudah melihat roh-roh dan mendengar suara-suara mereka, saya tidak mungkin bersikap orang-orang pada umumnya yang percaya bahwa jiwa manusia hilang bersama dengan kematian badan. Saya sudah menyaksikan sejumlah peristiwa ketika roh para sahabat dekat dan sanak saudara terpisah dari badan mereka pada saat mereka meninggal, dan melihat roh-rohnya menghilang ke langit.
Sering saya mendengar pesan dari roh-roh: hal-hal yang tak tersampaikan kepada orang-orang yang mereka cintai, atau kisah-kisah yang tak sempat mereka ungkapkan sewaktu masih berada di antara yang hidup. Bahkan, mengatupkan tangan dalam doa untuk mengatakan bahwa harapan-harapan mereka telah didengarkan sudah cukup untuk mendatangkan sesungging senyuman pada wajah para roh, dan kadang-kadang juga ucapan salam dari mereka. Pada kesempatan-kesempatan semacam itulah para roh merasa paling senang.
Saya punya dua saudara laki-laki. Dengan merekalah saya bisa bergaul dengan enak. Adik saya, yang sangat dekat dengan saya, mengalami musibah dalam kecelakaan mobil yang fatal saat ia berusia 15 tahun. Sebagai kanak-kanak, kami tak terpisahkan dan bisa menghabiskan waktu bersama-sama tanpa jemu. Saat ia meninggal, saya berada di sisinya, dan pengalaman melihat rohnya meninggalkan tempat tidur lalu menghilang melalui jendela adalah suatu peristiwa yang tak terlupakan. Pada saat-saat itu terjadi, pertama-tama ia menatap ibu kami, kemudian masing-masing dari kami yang mengelilinginya; dengan sungguh-sungguh ia memandangi wajah kami lewat matanya yang setengah tertutup, seolah-olah ingin meyakinkan bahwa ia tak akan pernah melupakan kami. Saat-saat terakhir kehidupan adik saya itu meyakinkan saya bahwa bahkan ketika orang telah pergi dari dunia ini dan tak dapat lagi berkomunikasi dengan orang yang dicintai dengan cara biasa, ia masih menghargai kenangan manis akan orang-orang yang ditinggalkan.
Pada malam setelah kematiannya, ketika semua orang yang melayat telah pergi, saya menyelinap ke luar rumah. Ingatan saya dipenuhi oleh kenangan akan adik saya. Saya berharap, bahwa dengan meluangkan sedikit waktu di bawah cahaya bintang-bintang saya dapat mengurangi rasa duka karena kehilangan.
Di luar pintu belakang rumah kami ada sebuah pintu gerbang kecil dari kayu. Di sampingnya berdiri sebatang pohon persik yang besar. Setiap tahun, pohon itu merunduk sangat rendah karena buahnya yang lebat, yang dulu saya nikmati bersama adik saya. Ketika saya berjalan di bawah pohon itu, terjadilah ini: dalam sekejap, bayangan seorang remaja yang badannya terbaring di dalam rumah berkelebat di depan mata saya. Lalu saya sadar bahwa jiwa adik saya masih tinggal di sana, enggan meninggalkan rumah yang ia cintai.
Sejak kematiannya, adik saya mengajarkan pada saya banyak hal tentang alam roh-roh, harapan dan impian mereka yang tinggal di sana, serta apa yang mereka coba katakan kepada kita. Ia terus melakukan itu. Lama kemudian, setelah ibu serta kakak laki-laki saya meninggal dan bergabung dengannya, dari waktu ke waktu mereka mengirimkan pesan-pesan mereka masing-masing kepada saya. Mendengarkan segala sesuatu yang harus mereka sampaikan membuat saya tidak ragu sedikit pun bahwa walaupun daging dan tulang bisa membusuk setelah kematian, jiwa manusia terus hidup.
Sahabat Karib Saya, Ayako
Saya baru berusia enam tahun ketika sadar bahwa saya memiliki kemampuan seorang medium. Di hari pertama masuk sekolah dasar, saya duduk di sebelah seorang anak perempuan bernama Ayako. Rambutnya yang tebal dan lebat seperti rambut boneka-boneka milik saya, meninggalkan suatu kesan kuat yang istimewa pada diri saya. Saya juga ingat bahwa ia punya tahi lalat di sebelah hidungnya yang indah, yang menambah keayuannya. Kecantikan Ayako sungguh luar biasa sehingga seorang anak kecil pun dapat merasakannya.
Pada masa itu pakaian adalah barang mewah. Ibu saya sedapat mungkin selalu mengganti kerah dan pita pada pakaian berpotongan seragam pelaut yang saya kenakan agar pakaian itu kelihatan sedikit cerah. Tetapi, Ayako selalu mengenakan pakaian-pakaian bagus. Rasanya ia datang ke sekolah dengan pakaian berbeda setiap hari. Di mata kanak-anak saya ketika itu, roknya yang panjang dengan keliman-keliman hiasan tambahan membuatnya tampak bagai seorang putri raja.
Sehelai gaun berbintik-bintik biru, sepasang sepatu yang mengilap, dan kaus kaki berenda –suatu kemewahan yang belum dikenal pada masa itu- juga ada di antara koleksi pakaian Ayako. Semua yang dimiliki Ayako adalah “impian” bagi setiap gadis. Ayahnya, kata Ayako sendiri, adalah manajer sebuah perusahaan dan membawakan pakaian-pakaian itu dari negeri seberang saat ia pergi berbisnis.
Segala sesuatu yang dimiliki Ayako mengesankan kemewahan. Bahkan, karet penghapusnya pun sama sekali belum pernah saya lihat. Karet penghapus itu berbentuk seorang penari, sepatu merahnya yang bertumit tinggi merupakan bagian yang digunakan untuk menghapus, sedangkan bagian yang lain semata-mata hanya hiasan. Betapa inginnya saya menggunakan karet penghapus itu! Akhirnya saya mendapatkan kesempatan juga: suatu hari saya lupa membawa karet penghapus sendiri, dan ketika saya mengatakan kepada Ayako, ia langsung mengambil karet penghapusnya yang indah itu dari kotak pensil dan meletakkannya di meja saya. Tetapi, sebelum kejadian itu kebaikan hati Ayako telah membuat saya amat terkesan.
Sepulang sekolah kami berdua biasa bermain bersama. Saya ingat betapa saya selalu ingin cepat-cepat sampai di rumah, menaruh tas sekolah begitu saja, lalu bertemu dengan Ayako yang sudah menunggu di luar. Sesampai di jalanan biasanya kami berlari-lari gembira, meloncat-loncat di atas tutup-tutup lubang got untuk mendengarkan suara yang ditimbulkannya.
Kalau hari sedang hujan, biasanya kami menggambar dan memotong boneka-boneka kertas, bergantian main di rumah masing-masing. Masa-masa itu saya ingat dengan jelas sebagai salah satu saat paling menggembirakan dari kehidupan saya.
Kemudian, dengan begitu tiba-tiba, Ayako tidak masuk sekolah: sehari, lalu dua hari. Sesudah itu kami diberi tahu oleh guru kami, yang matanya sembab karena menangis, bahwa Ayako telah meninggal karena sakit mendadak.
Bangku yang Kosong
Bangku Ayako kosong. Setiap kali melihat bangkunya, dada saya terasa sesak karena sedih membayangkan kotak pensilnya yang sudah begitu saya kenal, dengan beragam isinya yang diatur rapi sekali.
Pada masa itu, ada kebiasaan pada waktu pemakaman untuk memberi setiap orang yang berkabung sebuah manju, kue kecil berisi adonan kacang lembut. Itu adalah cara untuk mengenang orang yang baru saja meninggal. Pada masa ketika di Jepang gula-gula dan kue merupakan barang langka, manju menjadi terasa sangat enak.
Ayah Ayako sangat terpukul karena kehilangan anak perempuan satu-satunya dan ia memberi kami, teman-teman sekelas Ayako, masing-masing beberapa manju, juga kantong-kantong permen kesukaan Ayako. Tetapi tak seorang pun dari kami, yang berjumlah empat puluh orang dalam kelas pertama itu, punya sepatah kata untuk diucapkan ketika menerima pemberian-pemberian murah hati itu. Suasana amat hening. Sebatang jarum yang jatuh dalam ruang kelas pada hari itu mungkin bisa terdengar: tak seorang pun dari kami mengajukan diri untuk berbicara, ingatan kami terlalu dipenuhi kenangan akan Ayako.
Sore hari itu, saya berjalan pulang dengan perasaan campur aduk: penuh kesedihan atas kematian Ayako dan kegembiraan karena menerima permen, sesuatu yang biasa pada seorang anak kecil. Saya ingat betul waktu itu musim gugur, dan guguran daun-daun kuning pohon ginkgo terbentang bagaikan karpet di tanah. Hari itu, kami semua pulang dengan perasaan terserap dalam ingatan tentang teman sekelas kami yang telah meninggal. Kenangan saat berjalan pulang dengan sedih, menendang-nendang batu-batu dengan sepatu olahraga, begitu jelas bagi saya seolah-olah terjadi kemarin.
Hidup terasa sepi tanpa kehadiran Ayako. Saya kehilangan keinginan untuk menjalin persahabatan dengan teman-teman lain. Bila teman-teman sekelas mengajak bermain, saya hanya menundukkan kepala dan kembali pada pikiran-pikiran murung saya. Hal yang sama terjadi di rumah. Kehidupan saya berubah sama sekali.
Saya Mendengar Suara Ayako
Suatu malam, ketika sedang duduk sendirian sambil bermain boneka, saya mendengar seseorang memanggil saya.
“Sini, Aiko, ayo kita bermain…”
Tak diragukan lagi. Itu suara Ayako.
“Tunggu sebentar, Ayako, aku akan segera ke sana”, jawab saya, dan berlari menuju pintu rumah. Ibu saya, terkejut mendengar saya berbicara sendiri dengan suara keras dan melihat saya kemudian berlari ke pintu, membentak dengan marah.
“Aiko, kamu omong apa? Apakah kamu baru saja mengatakan ‘Ayako, aku akan segera ke sana?’ Apa yang dikatakan Ayako padamu? Ia telah meninggal, Aiko. Demi kebaikanmu, sadarilah itu dan tenanglah”.
Tetapi sementara berdiri di pintu depan, saya mendengar suara Ayako lagi.
“Aiko, cepat! Kenapa kamu lama sekali? Lihat, aku ada disini”.
Mana mungkin saya salah? Itu suara seorang teman dengan siapa saya telah menghabiskan banyak waktu dan jam bermain yang menyenangkan.
Sambil membuka pintu, saya berseru kepada ibu saya, “Tetapi itu Ayako, aku tahu. Ia sungguh-sungguh memanggilku!”
Saat itu diluar sudah gelap. Ibu saya dengan kuat menarik bahu saya. “Masuk ke dalam sekarang”, katanya. “Sekalipun kamu merasa benar-benar mendengar suara Ayako, kamu tetap salah. Ayako sudah meninggal. Tak mungkin ia dapat memanggilmu”.
Wajahnya pucat pasi. Tanpa berkata apa-apa, saya kembali ke kamar. Ibu mengikuti dan duduk sejenak bersama saya. Kami diam di sana dalam kesunyian, mungkin selama 20 atau 30 menit. Kemudian ibu saya tiba-tiba pergi ke jendela dan menangkupkan kedua tangannya dalam doa yang khidmat.
“Ayako, buatlah jalanmu ke dunia roh yang bahagia secepatnya. Janganlah menjemput Aiko lagi. Kamu tak pernah dapat bermain bersama-sama lagi, tetapi aku berdoa agar kamu kelak dilahirkan kembali sebagai seorang anak yang ditakdirkan berumur panjang”.
Sejak itu, saya menghabiskan hari-hari saya dalam kesunyian, tidak berbicara dengan seorang pun, tidak dengan teman-teman sekelas, guru-guru, tidak juga dengan Ibu yang sangat saya cintai. Anak-anak lain mengajak saya bermain di papan luncur atau jungle gym di lapangan bermain sekolah, tetapi bagi saya usaha-usaha mereka untuk bersikap akrab justru mengganggu saya.
Akan tetapi saya tetap belajar dengan baik: dalam soal ini ayah saya amat keras, dan saya lebih suka untuk tidak memikirkan hukuman apa yang mungkin menanti jika saya menunjukkan tanda-tanda menolak pekerjaan-pekerjaan sekolah. Maka, walaupun hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan guru dengan anggukan atau gelengan kepala, saya tidak pernah lalai untuk menyalin segala sesuatu yang ada pada papan tulis ke dalam buku catatan saya.
“Ada Yang Aneh dengan Aiko…”
Selama pelajaran, guru biasanya berjalan di sekitar meja saya dan memperhatikan saya yang sedang menulis, atau mengambil buku catatan saya dan memeriksanya. Saya ingat ini dengan gambling; juga bahwa ia selalu mengatakan hal yang sama dengan bersisik.
“Ah, bagaimanapun juga, tampaknya ia belajar sebagaimana mestinya”.
Akan tetapi, tidaklah sangat mengherankan bahwa sikap diam saya mengganggunya. Ketika memanggil ibu saya ke sekolah, ia menyarankan agar ibu saya membawa saya untuk menjalani pemeriksaan medis. Oleh karena itu, saya diliburkan satu hari, untuk pergi bersama ibu saya ke sebuah rumah sakit besar.
“Anak ibu tidak menderita sakit apa pun”, kata dokter, seorang lelaki tua dengan suara yang ramah, kepada kami. “Barangkali hanya shock karena kehilangan temannya itulah yang membuatnya membisu: perlakukanlah ia sebagaimana biasanya”.
Di rumah kami, di belakang pintu depan, di bagian sebelah kiri, ada sebuah gudang. Di dalamnya tersimpan beberapa lemari berlaci. Ada jarak sekitar setengah meter di antara lemari-lemari itu, dan ketika saya merangkak masuk ke sela-sela itu lubang hidung saya diserbu bau yang sangat tajam, campuran jamur dan debu. Saya ingat sekali bagaimana saya mengaduk-aduk remukan dinding dan mengamatinya hancur menjadi tanah di depan mata saya. Anehnya, di tempat pengap inilah saya merasa paling senang.
Setiap kali saya duduk di tempat itu, Ayako akan menampakkan dirinya di hadapan saya dan berkata sambil tersenyum, “Aiko, tahukah kamu bahwa besok aka nada pemakaman? Akan kutunjukkan tempat kamu bisa mendapatkan manju”. Dan di depan mata saya muncul suatu gambaran, sejelas gambar di layar televise, tempat ke mana saya harus pergi.
Sejak lahir telinga kanan saya agak tuli dan, akibat suatu kecelakaan, penglihatan dengan mata kiri saya kabur. Kedua cacat itu tidak mencolok. Tetapi dengan telinga kanan itulah saya mendengar suara-suara roh, dan dengan mata kiri itulah saya melihat wajah mereka.
Saya menggambarkan penampakan-penampakan yang saya alami mirip seperti menonton layar televise, tetapi warna-warnanya lebih alamiah daripada yang biasanya tampak pada film, dan kadang-kadang tampak pudar. Akan tetapi petunjuk-petunjuk yang diberikan Ayako selalu jelas dan saya tidak pernah sulit menemukan rumah tukang roti tempat saya harus belok kanan, kotak surat yang menandai gang yang harus saya telusuri, atau ke mana pun Ayako mengirim saya. Semua itu seolah-olah peta hidup yang diletakkan di depan mata saya. Juga jam pada saat pemakaman diadakan dijelaskan pada saya: jika, misalnya, upacara akan dimulai pada pukul dua sore, angka “2” biasanya tampak dalam warna putih pada “layar” di hadapan saya. Pemakaman-pemakaman di Jepang umumnya dilakukan antara pukul sepuluh dan tiga, maka wajar saja bahwa angka yang muncul selalu terentang dalam batas itu.
Karena mengetahui saat mulainya pemakaman, biasanya saya jadi tak dapat berkonsentrasi di sekolah pada hari itu. Saya tahu bahwa saya harus pulang, menaruh tas saya, dan pergi ke tempat pemakaman diadakan.
Ketika Saya Amati, Lelaki yang Meninggal Itu Berbicara pada Saya
Pada hari yang telah dikatakan, saya tergesa-gesa ke pemakaman yang dimulai pada pukul dua, dengan mengikuti petunjuk yang saya terima. Petunjuk itu antara lain: belok ke kanan begitu sampai di toko seorang pedagang beras, dari situ mencari sebuah pohon besar tempat pemakaman akan dilangsungkan. Saya sampai di tempat itu pada pukul setengah tiga sore, saat tempat itu sudah dipenuhi orang yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum.
Sebuah foto seorang lelaki gemuk berwajah riang tergantung di ruang depan sebuah rumah dekat situ. Ia tampak berada dalam kondisi kesehatan yang prima, tetapi gambar itu dililit pita hitam. Mereka yang duduk di sekelilingnya sedang menyeka air mata. Tiba-tiba, ketika melihat ke wajah lelaki dalam gambar itu, saya mendengar ia berkata kepada saya.
“Aiko”, katanya. “Dulu saya punya seekor anjing yang sangat saya cintai bernama Kuro. Bisakah kamu meminta keluarga saya untuk menaruh foto Kuro bersama saya di dalam peti mati?”
Saya menyetujuinya, tetapi kemudian langkah-langkah saya terhenti: Bagaimana saya, yang tak kenal siapa pun di tempat itu, harus menyampaikan pesan itu? Saya berpikir sejenak, kemudian menemukan apa yang tampaknya merupakan cara paling baik. Sambil mengambil secarik kertas kecil dari saku, saya mencari sesuatu untuk menulis. Karena melihat empat atau lima pensil di atas meja tempat orang-orang yang berkabung menuliskan namanya dan meninggalkan derma, saya ambil satu pensil dan tergesa-gesa menuliskan pesan yang harus saya sampaikan dengan tulisan cakar ayam. Sambil menyisipkan kertas itu ke dalam genggaman tangan salah satu anggota keluarganya, saya berbalik dan berlari pulang, dengan tak melupakan manju saya, dan langsung masuk ke tempat rahasia saya.
Setelah beberapa menit berlalu, dan cukup bagi saya untuk mengambil nafas dan menjadi tenang kembali, sekali lagi saya mendengar suara lelaki gemuk itu.
“Saya sudah mendapatkan foto Kuro, Aiko. Terima kasih”, katanya, suaranya penuh kegembiraan. Ketika ia berbicara, wajahnya tampak di hadapan saya.
Walaupun hanya seorang anak kecil, saya tahu bahwa keluarga lelaki itu telah melakukan hal yang benar, dan itu membuat saya terkesan sebab tahu bahwa orang itu akan pergi ke dunia roh dengan membawa foto binatang kesayangannya. Hal itu pun menggetarkan jiwa saya sebab saya sadar telah memenuhi tanggung jawab besar semacam itu dengan baik.
Gadis yang Hanya Dapat Berbicara kepada Roh
Sebagai kanak-kanak, saya sering menjadi sumber percekcokan orangtua saya. “Aku tak tahu apa yang telah kau ajarkan padanya, tapi lihatlah ia! Sekarang ia tak mau bicara sepatah kata pun kepada siapa pun”.
Menanggapi itu, ibu saya biasanya menjawab, “Apakah kamu tidak menyadari bahwa ia memang pendiam? Berilah ia waktu beberapa tahun –dan selama waktu itu akan lebih baik lagi jika kamu memperlakukannya dengan kasih sayang yang lebih besar. Aku bukan satu-satunya orang yang bisa disalahkan…”
Di mata orang lain, saya pasti kelihatan menjadi seorang gadis kecil yang sangat kesepian. Tetapi, sesungguhnya sama sekali tidak demikian. Pesan-pesan yang saya terima dari dunia roh memungkinkan bisa menikmati banyak manju, dan saya selalu dapat bercakap-cakap dengan Ayako, teman saya yang paling baik. Saya sama sekali tidak kesepian. Sebaliknya, kata-kata yang ditujukan kepada saya oleh para famili dan guru-guru yang cemas, sekalipun dengan maksud-maksud yang sangat baik, lebih merupakan gangguan bagi saya.
Sekolah dasar saya terletak di pinggir sebuah sungai, dan setiap kali ada orang jatuh atau terjun ke sungai itu karena mencoba bunuh diri, saya akan mendengar suara deru air di telinga kanan saya. Apabila hal itu terjadi, saya akan meninggalkan ruang kelas dan keluar lewat koridor, mengikuti suara itu, dan berlari ke pos polisi setempat untuk melaporkan bahwa seseorang telah terjun ke sungai.
Guru-guru saya telah lama menghentikan teguran atas tingkah laku saya itu. Bagaimanapun, sulit bagi mereka untuk menghukum saya karena meninggalkan kelas sementara mereka sendiri melihat bahwa polisi setempat berterima kasih kepada saya karena telah member informasi tentang orang tenggelam. Sekarang pun saya dapat mengingat kembali pandangan-pandangan penuh keraguan di wajah mereka.
Malam harinya, setelah dinyatakan mati tenggelam, korban biasanya menampakkan diri kepada saya. Mereka selalu amat ingin untuk menceritakan kepada saya keadaan-keadaan di sekitar kematian mereka dan meminta saya untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada orang yang mereka cintai. Mulai saat itu, kehidupan saya berkisar di seputar para roh dan semua komunikasi yang mereka sampaikan kepada saya.
Menjelajahi Rumah-rumah Berhantu
Sampai pada bagian ini, saya terutama menceritakan masa kanak-kanak saya, yang sebagian besar saya habiskan bersama roh-roh. Tetapi itu hanya awal dari hubungan saya dengan dunia roh. Belum lama ini saya terlibat dalam pembuatan acara berseri televisi berjudul “Menjelajahi Rumah-rumah Berhantu”. Selama masa pembuatan paket acara itu, saya berkesempatan mengunjungi sejumlah lokasi berhantu di berbagai Negara.
Tetapi perjalanan-perjalanan saya tidak dimulai dengan pembuatan serial televise seperti itu. Selama bertahun-tahun, saya telah melakukan berbagai perjalanan atas kemauan saya sendiri. Selama tahun-tahun itulah saya mengembangkan keingintahuan saya yang kuat mengenai bagaimana dan mengapa rumah-rumah tertentu memperoleh reputasi “berhantu”, seperti drama kehidupan nyata yang berlangsung di balik dinding-dinding rumah-rumah itu selama bertahun-tahun yang lalu.
Taiwan adalah tempat pertama yang saya kunjungi, lalu Hong Kong, dan kemudian Eropa. Semenjak mengunjungi sejumlah besar rumah, saya dapat merasakan suatu pola tertentu mengenai keadaan roh-roh di dalam setiap rumah. Rumah-rumah yang lebih tua hampir bisa dipastikan lebih hebat mengalami “gangguan” dari berbagai macam roh, yang banyak di antaranya telah menjadi hantu-hantu yang merana. Saya juga sampai pada kesimpulan bahwa lebih banyak rumah berhantu di negara-negara yang perkembangan sejarahnya berlangsung berabad-abad.
Kehidupan dengan mudah dapat dilihat sebagai rangkaian persoalan antara pria dan wanita, atau persoalan yang berakar dalam keinginan material. Berapa banyak orang yang selama berabad-abad telah diperlakukan dengan semena-mena oleh kekasih atau pasangan hidupnya? Berapa banyak yang telah kehilangan hak milik atau harta benda hasil kerja kerasnya karena ditipu? Hampir dalam semua kasus, kepahitan dan penderitaan yang mengiringi kejadian-kejadian semacam itulah yang menyebabkan rumah-rumah menjadi berhantu.
Eropa mempunyai sejarah panjang perebutan kekuasaan yang keji. Selama berabad-abad, raja-raja yang tak terhitung banyaknya digulingkan dari tahta mereka, dan tak terhitung banyaknya orang yang ditipu dalam soal warisan oleh sanak keluarganya sendiri yang jahat. Akibatnya, sebagian besar jenis gangguan hantu yang muncul di sana berkisar pada masalah uang dan konflik kekuasaan. Rumah tak akan berhantu tanpa alasan yang memadai, kecuali sebagai akibat langsung dari kejadian-kejadian tragis di masa lampau.
Roh yang Terkurung: Permohonan Tragis Mereka Kepada Kita
Biasanya, begitu tiba di sebuah rumah yang punya sejarah panjang, telinga saya akan langsung diserbu oleh permohonan-permohonan dari para roh yang kesepian. Karena roh-roh itu putus asa untuk bisa berbicara kepada seseorang, saya hanya punya sedikit pilihan kecuali mendengarkan.
Suara para roh yang mendiami rumah-rumah berhantu selalu diwarnai kesedihan dan penderitaan. Ada yang kesedihan dan penderitaannya sedemikian besar sehingga saya ingin menutup telinga saya dan menyuruh mereka diam. Kadang-kadang, hanya dengan berdiri di depan sebuah rumah semacam itu, saya akan merasa kedinginan seperti disiram seember air es, atau saya merasakan kaki saya membeku dan tak dapat digerakkan.
Kalau hal semacam itu terjadi, saya tahu bahwa apa yang saya namakan “hantu-hantu yang terkurung dalam rumah” tersebut sedang berusaha untuk membuat kehadiran mereka bisa dirasakan. Itulah hantu orang-orang yang telah meninggal dalam rumah mereka sendiri dan kemudian tak mampu meninggalkannya.
Dari semua aktivitas yang dilakukan manusia, perang adalah yang saya anggap paling tercela. Selama berabad-abad, ribuan manusia dikorbankan dalam perang besar-besaran, dan saya sudah sering menyaksikan roh para korban perang itu mengembara ke tempat-tempat mereka dulu dibunuh, tak dapat beristirahat. Seandainya perang tidak pernah terjadi, jiwa-jiwa yang menderita dan rumah-rumah berhantu tidak akan ada, dan, bagi saya, inilah alasan yang baik untuk melarang semua konflik kejam dan tak berperikemanusiaan. Pikiran tentang perang memenuhi diri saya dengan kemarahan dan kesedihan sedemikian rupa sehingga ada saat ketika saya ingin meluapkan perasaan saya dengan berteriak keras agar bisa didengar sampai ke seluruh dunia.
Karena saya dapat berkomunikasi dengan para roh, mereka menceritakan kepada saya apa saja yang terjadi dan secara khusus mereka alami, yaitu alasan bagi ketidakmampuan mereka untuk menjadi tenang. Bagi mereka yang tak dapat secara langsung berbicara dengan roh-roh, mencari informasi semacam itu berarti menyelidiki sejarah rumah dan lingkungan di seputar rumah itu. Jika suatu kejadian tragis melibatkan seseorang yang tinggal dalam rumah Anda atau sebuah tempat yang tak jauh, letakkanlah segelas air di sudut ruangan sebagai sebuah persembahan, dan tangkupkanlah tangan Anda dalam sikap doa sambil memikirkan roh yang bersangkutan. Tindakan Anda akan sangat berarti dalam menyenangkan hati hantu yang terkurung.
Pada saatnya, roh-roh akan mencari bantuan dari yang masih hidup, atau muncul untuk memperlihatkan kemarahan kepada mereka, dengan menimbulkan kebingungan atau ketidakbahagiaan. Menenangkan roh semacam itu dengan cara yang telah saya sebutkan akan beroleh ucapan terima kasih mereka, dan sangat besar kemungkinan bahwa semua kegiatan yang menyusahkan dihentikan, serta memungkinkan penghuni rumah itu kembali menjalani kehidupan yang wajar.
Penganut Kristen di Unzen
Saya pernah berkunjung ke Unzen, suatu daerah yang terkenal karena sumber air panasnya. Tak seorang pun yang pernah melintasi daerah ini tidak terkesan oleh pemandangan misterius dari awan gemawan yang terbentuk oleh uap air panas yang menyembul di antara bukit-bukit nan hijau.
Tetapi, bagi saya, keindahan Unzen kalah dengan pemandangan yang lebih menyeramkan. Di bawah saya, di balik uap itu, saya dapat melihat sekelompok orang berpakaian putih; mereka didorong secara kasar oleh orang-orang yang tampaknya semacam para petugas. Saya segera sadar bahwa yang saya lihat itu adalah sebuah penampakan mengenai suatu kejadian yang sebenarnya tak terjadi. Meskipun demikian, pemandangan itu tetap menakutkan saya.
Ketika saya amati, para tawanan berpakaian putih itu, yang diikat bersama dengan tali yang membentuk suatu tanda silang pada setiap dada mereka, dituntun menuju tepi kolam yang bergelembung-gelembung dan didorong masuk satu per satu. Ketakutan serta kesedihan menguasai saya, dan saya seperti terpaku di tempat itu, tak dapat memaksa diri sendiri untuk meninggalkan pemandangan yang mengerikan itu. Ketika mereka dilemparkan ke dalam kolam, saya mendengar mereka masing-masing berseru, “Amin!”
Dengan penampakan itu, kecurigaan saya diperkuat. Saya menyaksikan penindasan keji terhadap “orang-orang Jepang penganut Kristen yang bersembunyi”.
Pada waktu itu saya sedang mengumpulkan bahan untuk penulisan sebuah artikel majalah dan saya ditemani seorang fotografer.
“Saya bisa melihat beberapa orang Kristen yang bersembunyi di sana, bisakah Anda melihat mereka juga?” tanya saya kepadanya. Ketika melukiskan apa yang saya lihat, saya diliputi emosi dan air mata mulai mengalir di pipi saya.
Ia tak melihat apa-apa kecuali kelihatan terganggu dan terus mengambil foto demi foto dengan cara yang tampak sembarangan.
Dari rambut mereka yang kusut dan mata yang bersinar, saya tahu bahwa para tawanan itu adalah orang-orang Kristen tersembunyi dari abad ke-17. Wajah mereka tak memperlihatkan tanda-tanda ketakutan, semata-mata karena iman yang tak tergoyahkan. Sambil berpaling kea rah pemandangan itu, yang hanya dapat terlihat oleh saya, saya tangkupkan tangan dalam sikap doa dan menundukkan kepala, dan tetap dalam keadaan itu selama beberapa waktu.
Dalam hati, saya bertanya-tanya, sudah berapa lamakah peristiwa itu terjadi? Belum lama berselang Gunung Unzen meletus, mengubur sejumlah besar orang di bawah aliran lava yang terbentang luas. Saya yakin hantu-hantu yang terkurung di tempat yang saya lihat pada hari itu masih ada di sana.
Pada saat sedang berpikir tentang sejumlah hantu yang terkurung di suatu tempat dan berseru-seru memohon pertolongan, saya tidak mampu menahan diri untuk berharap bahwa semoga semakin banyak orang yang mampu menyadari keberadaan jiwa-jiwa yang merana itu dan memanjatkan doa bagi mereka. Dengan perlindungan dan perhatian dari yang masih hidup, mungkin pemandangan yang saya lihat pada hari itu di Unzen akan berubah sedikit lebih baik.
Permohonan dari Roh-roh yang Tidak Bahagia
Selama bertahun-tahun telah saya jumpai banyak roh yang malang, bukan hanya di Unzen. Di antara mereka terdapat roh dari orang-orang yang bunuh diri dengan menenggelamkan diri ke sungai di dekat sekolah saya dulu. Beberapa roh berusaha keras untuk menjelaskan mengapa mereka memilih untuk merenggut kehidupan mereka sendiri. “Saya kesepian”, kata mereka, atau, “Saya ingin keluarga saya lebih mencintai saya”, atau, “Saya tak punya ketetapan hati untu menyelesaikan suatu tugas”. Namun mereka semua mengakhiri cerita mereka dengan mengatakan kepada saya bahwa ternyata mati adalah pilihan yang keliru.
Ketika saya masih kecil, roh-roh itu akan mengatakan kepada saya, “Saya tak bisa masuk ke dalam dunia roh seperti ini. Saya mohon, kirimkanlah kasih sayang, ucapkanlah sepatah doa buat saya –itu akan mebuat saya merasa jauh lebih baik”.
Tentu saja tak semua roh sedih. Sesungguhnya banyak yang merasa sebaliknya. Satu hal yang saya ingat benar adalah tentang seorang wanita tua di lingkungan kami yang meninggal dunia setelah menikmati kegembiraan dan kepuasan hidup. Ia wanita yang baik hati, sangat dicintai keluarganya, dan ia meninggal dengan damai, dikelilingi orang-orang yang paling dekat dengannya. Setelah kematiannya, saya sering melihatnya memelihara kebun yang sudah dirawatnya sedemikian indah, atau berjalan-jalan dengan anjingnya.
Orang-orang yang sanak saudaranya memberikan perhatian baik kepada mereka dan membuat mereka merasa dicintai serta dihargai, selalu akan tampak tersenyum dan senang ketika mereka saya lihat dengan mata kiri saya yang rabun.
Roh-roh yang Bahagia Mengungkapkan Rasa Terima Kasih Mereka
Roh-roh yang bahagia, seperti yang saya lukiskan tadi, tak pernah mendatangi saya dalam keadaan susah dan tidak bahagia, juga tak pernah membutuhkan saya untuk melakukan sesuatu bagi mereka. Sebaliknya, saya dapat mengatakan bahwa mereka terus-menerus mengawasi anak-anak dan keluarga yang telah mereka tinggalkan, melakukan yang terbaik untuk melindungi mereka.
Selain itu, masing-masing roh itu bebas dari kekhawatiran, sedemikian rupa sehingga orang ingin tahu ke mana hilangnya rasa sakit dan susah yang pasti mereka derita sebelum kematian mereka.
Mereka merasa bersyukur kepada keluarga mereka atas setiap pelayanan kecil yang dilakukan keluarga bagi mereka, bahkan jika itu hanya berupa ucapan sepotong doa sederhana atau seporsi kecil makanan kesukaan mereka di pinggir meja keluarga.
Roh tahu segala sesuatu yang diperuntukkan baginya dan, sebagai balasan, ia akan lebih mendekatkan diri kepada mereka yang masih hidup. Contohnya, karena merasa bahwa almarhum yang dicintai menyukai bunga, seseorang meletakkan pot bunga untuknya di sebuah meja di dalam rumah, sambil mengatakan, “Ini untukmu”, atau kata-kata lain dengan tujuan yang sama. Roh yang dimaksud akan menjadi senang dan tinggal dekat dengan orang yang telah mengobati kesusahannya serta menghiburnya.
Dengan mengamati berbagai perlakuan roh terhadap mereka yang masih hidup, tidaklah sulit untuk mengatakan mana roh-roh yang bahagia dan mana yang tidak bahagia.
Kalau selama ini Anda selalu mengira bahwa tidak ada apa-apa setelah kematian, pertimbangkanlah kembali perkiraan Anda itu. Jika Anda ingin hidup bahagia, Anda harus berusaha untuk menyadari sampai sejauh mana tindakan-tindakan sederhana seperti mengucapkan sepatah doa, atau membuat persembahan kecil kepada mereka yang telah meninggal, dapat mempercerah kehidupan Anda sehari-hari.
Orang yang Anda cintai mungkin telah meninggalkan dunia ini dan masuk ke dunia lain, tetapi mereka tetap menginginkan Anda bahagia, dan mereka akan melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan untuk menjamin bahwa Anda sungguh-sungguh bahagia.
Sabtu, 15 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar