3
Saya Menyadari Kekuatan Saya
Pentingnya Menyajikan Persembahan di Saat-saat Tidak Pasti
Tak pernah sedikit pun terlintas dalam benak maupun hati saya untuk menunjukkan kepada seluruh dunia kekuatan yang saya miliki. Itu tidak akan pernah menjadi tujuan hidup saya. Sebaliknya, saya lebih suka menjadi “orang di balik layar”. Yang paling saya gemari adalah membaca dengan tenang di rumah atau menikmati lukisan. Gembar-gembor yang dilakukan media massa Jepang mengenai kekuatan yang saya miliki justru membuat saya merasa tidak enak.
Memang, yang saya inginkan agar dikenal oleh masyarakat luas bukanlah ke masyhuran atau nama besar. Tetapi, jika ada sesuatu yang saya dambakan, itu adalah keinginan besar untuk mengajak setiap orang menyadari bahwa masing-masing dari kita memiliki potensi untuk membuat hidup kita lebih baik dan semakin baik; juga sangatlah disayangkan bahwa kita tidak mampu menikmati kebahagiaan hidup itu karena kita tidak mengakui kehadiran para roh serta tidak menyampaikan rasa cinta kita kepada mereka.
Setelah mendengar langsung dari para roh apa yang mereka inginkan dari kita, dan mengetahui betapa sederhananya cara untuk membuat mereka senang, saya pun berusaha keras untuk menyampaikan semua yang saya ketahui itu melalui buku-buku, majalah, dan televise.
Saya kira, sejak dulu satu-satunya keinginan saya adalah mengajak sebanyak mungkin orang untuk mengenal dunia roh secara lebih baik. Tetapi karena mungkin masih kanak-kanak, segala sesuatu yang saya katakan dianggap angin lalu saja, dan hasilnya justru lebih sering runyam. Saya menyadari kekuatan yang saya miliki ketika usia saya baru enam tahun. Kanak-kanak pada usia itu tentu saja sia-sia untuk meyakinkan orang-orang dewasa tentang apa yang ia ketahui.
Saya Melihat Seseorang yang Tak Dapat Dilihat Ayah Saya
Saya ingat betul masa sebelum saya memasuki sekolah dasar. Pada masa-masa itu ayah biasa mengajak saya menonton pertunjukan di malam yang diterangi bintang-bintang. Menonton pertunjukan teater adalah salah satu cara mengisi waktu luang yang paling ia sukai. Ada satu kejadian yang membuat saya masih bisa mengingat dengan jelas salah satu kesempatan itu.
“Ayah, lihat tuh, ada orang berjalan disana”, saya ingat mengatakan itu sambil menarik-narik lengan mantel yang dikenakan ayah. “Ada orang perempuannya juga”.
“Mana? Kok, saya tidak melihat siapa-siapa”, jawabnya, tak menghiraukan tarikan-tarikan saya yang keras pada lengan mantolnya. Bertahun-tahun kemudian, saya baru menyadari bahwa saya telah melihat roh-roh yang tak terlihat oleh ayah saya.
Kadang-kadang, ketika saya sedang bermain sendirian di taman, seorang lelaki bermantel hitam, dengan pinggiran topi menutupi matanya, muncul di hadapan saya. Setelah mengalami kejadian seperti itu biasanya saya langsung menderita demam. Saya tidak pernah tahu siapa lelaki itu sebab ia tak pernah mengucapkan sepatah kata pun, tetapi saya tentu saja tak ingin lagi melihatnya –ia sangat tinggi, di mata seorang anak kecil seperti saya.
Lalu saya masuk sekolah dasar, dan saya tidak berbeda dengan teman-teman sebaya. Sampai saat kematian Ayako, sahabat saya, yang kemudian membawa kejadian-kejadian yang mengubah hidup saya, seperti telah saya ceritakan.
Saya adalah seorang anak yang jarang berbicara kepada orang lain, tetapi kadang-kadang saya akan mengejutkan orang-orang disekitar saya dengan mengeluarkan komentar-komentar yang sangat tak terduga.
Pada Suatu Hari di Kereta Api
Saya sering menemani ibu pergi ke kota naik kereta untuk berbelanja berbagai keperluannya. Saya senang duduk di sampingnya, dengan kedua tangan di atas salah satu lututnya, merapat manja padanya. Apabila saya lakukan itu, ia akan melingkarkan lengannya di bahu saya. Itulah yang selalu kami lakukan sewaktu duduk.
Tetapi, suatu hari, saya bertingkah lain. Setelah melepaskan diri dari lengan ibu saya, saya bergegas ke tempat seorang wanita yang duduk di seberang kami.
“Anda akan mendapat kecelakaan”, kata saya kepadanya. “Berhati-hatilah!” kata-kata yang sungguh kurang ajar, tetapi itu keluar begitu saja dari mulut saya.
Karena terkejut, wanita itu kehilangan kata-kata dan hanya menatap saya, matanya melotot. Bagaimanapun, ia belum pernah melihat saya.
Ibu saya cepat-cepat minta maaf. “Saya amat menyesal, saya tak tahu apa yang membuatnya mengatakan sesuatu seperti itu”, katanya. “Jangan hiraukan itu barang sejenak pun”.
Setelah tenang kembali, wanita itu tersenyum dan menepuk-nepuk kepala saya.
Akhirnya, kereta sampai di tempat pemberhentian wanita itu. Ketika ia pergi ke luar, saya berlari kepadanya dan mengulangi peringatan saya. Kali ini ia membelalakkan mata pada saya dengan marah dan turun tanpa sepatah kata.
Hari itu, saya menyusahkan hati bagi ibu saya.
“Kamu tak boleh mengatakan hal-hal seperti itu kepada orang-orang yang belum kamu kenal”, hardik ibu saya. “Hari ini kamu tak boleh jajan”.
Beberapa waktu kemudian, ketika insiden itu sudah terlupakan, kami pergi lagi naik kereta. Seorang wanita dengan penopang menaiki kereta, kakinya tertekuk dan dibalut rapat.
Ibu saya dan wanita itu bertemu mata dan saling menatap. Keduanya kehilangan kata-kata. Akhirnya ibu saya berdiri, dan wanita itu dengan berat hati pindah ke sampingnya, sambil menyeret kakinya yang dibalut.
“Pada hari ketika anak Anda memperingatkan saya, sesampai di rumah saya memangkas bambu. Tiba-tiba saya terpeleset dan jatuh di ujung bambu, yang begitu parah melukai kaki saya. Itu karena kesalahan saya sendiri. Seandainya saja saya mendengarkan gadis kecil Anda, kecelakaan itu tak akan pernah terjadi. Anda tak keberatan kalau saya ingin tahu alamat Anda, bukan?” tanyanya tajam.
Wanita itu kemudian menanyai saya macam-macam hal, minta nasehat mengenai ini itu.
Sesampai di Rumah, Menghitung Sepatu Dulu
Perlahan-lahan, cerita-cerita seperti itu tersebar di sekitar lingkungan kami tinggal. Semakin banyak saja orang berdatangan dan mencari saya untuk membicarakan beragam persoalan mereka. Ibu saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia berusaha mencegah keinginan orang-orang itu, dengan mengatakan kepada mereka bahwa ia ingin mengasuh saya sebagai seorang anak yang biasa-biasa saja, atau bahwa kami tidak “melakukan hal semacam itu dalam rumah ini”. Tetapi menghadapi orang-orang yang jelas-jelas datang dengan berbagai kesulitan dan membutuhkan bantuan, sungguh sulit bagi ibu saya untuk menolak, dan akhirnya menyerah pada keadaan itu.
“Aiko, kamu bisa mengatakan sesuatu kepada orang ini?” tanya ibu saya, seolah-olah keadaan seperti itu wajar-wajar saja. Tetapi, apabila ayah saya mengetahui apa yang terjadi, ia akan sangat marah. Ia akan mengomel begini, “Aku tak peduli siapa mereka. Kamu tidak boleh menemui mereka”.
Maka, apabila ayah sedang berada di rumah, ibu akan menolak siapa pun yang datang minta bantuan. Tentu sangat sulit bagi ibu untuk memenuhi tuntutan ayah: ibu saya adalah pribadi yang punya rasa belas kasih besar, yang sulit mengatakan tidak kepada siapa pun yang membutuhkan bantuan. Saya sering melihatnya menangis karena penderitaan orang lain; ia bahkan bisa menangis bila membaca penderitaan orang-orang dari buku atau surat kabar.
Deretan pengunjung yang tak kunjung habis itu saya rasakan sangat mengganggu, dan sedapat mungkin saya menghindari pembicaraan yang tak perlu dengan para tamu tak diundang itu. Bagi saya, bersikap tak acuh dan mengatakan sesuatu sekenanya kepada siapa pun yang belum pernah saya jumpai bukanlah masalah. Tetapi duduk dan mendengarkan beragam permasalahan dari orang-orang yang kesusahan adalah persoalan yang sama sekali berbeda.
Sepulang sekolah, saya akan menghitung sepatu yang ditinggalkan di balik pintu depan rumah kami, dan jika saya tahu ada beberapa di antaranya yang bukan milik keluarga saya, saya akan pergi hingga larut malam. Seringkali saya sangat lapar ketika akhirnya pulang. Tetapi rasa lapar lebih baik daripada harus berhubungan dengan orang-orang itu.
Sekitar satu mil dari rumah saya ada sebuah bukit kecil. Saya biasa mendaki bukit itu dan duduk di rumpun semak-semak. Jika saya duduk diam, suara Ayako datang pada saya dan menyampaikan banyak hal yang berguna: di mana pemakaman akan berlangsung, penyebab kematian orang yang meninggal itu, apa yang harus dilakukan agar rohnya senang. Saya justru belajar lebih banyak dari roh-roh daripada yang pernah saya pelajari di sekolah.
Diajar dan Dilindungi oleh Almarhum Adik Saya
Seperti telah saya katakan, saya punya seorang adik yang usianya dua tahun lebih muda daripada saya. Kami sangat dekat dan sering bermain bersama. Sebagai kakak, saya tak selalu bersikap sangat baik. Saya sering memperdayainya demi sesuatu yang menyenangkan yang ia peroleh dari ibu kami. Sebagai contoh, jika saya mengatakan, “Ayo kit abaca buku”, jawabnya akan selalu ya. Ia tak pernah melawan saya. Sebagai anak berumur dua tahun, ia sering menjadi korban olok-olok kakaknya yang jahil. Kalau dipikir-pikir, sampai masa saya mulai sekolah, hubungan saya dan adik saya mirip dengan hubungan antara seorang majikan dan pelayannya.
Adik saya itu meninggal pada usia 15 tahun. Bersama kakak saya yang meninggal dalam peperangan pada usia 20 tahun, ibu saya meninggal beberapa tahun lalu, dan teman saya Ayako, adik saya itu telah mengirimkan banyak pesan kepada saya selama bertahun-tahun, dan terus menasihati saya melalui cara yang dapat saya pahami dengan mudah mengenai masalah-masalah sehubungan dengan dunia roh.
Tiada henti saya berterima kasih atas perlindungan dari keempat roh itu. Jika bukan karena mereka, saya percaya orang yang sakit-sakitan seperti saya tak pernah mampu bertahan hidup lama.
Pada umur 21 tahun, saya menderita sakit ginjal yang nyaris membunuh saya, dan pada masa mengandung anak perempuan saya, saya kembali sakit berat. Saya benar-benar kehilangan kekuatan selama 17 tahun setelah masalah ginjal itu, dan jika bukan karena roh-roh pelindung saya, tak terbayangkan bagaimana mungkin saya bisa mengatasi beragam persoalan selama bertahun-tahun itu.
Setelah sembuh dari sakit, saya menyadari bahwa kekuatan-kekuatan yang menjengkelkan saya telah hilang dan selama 17 tahun berikutnya, saya hidup sebagai seorang ibu dan istri biasa. Tetapi, saya tahu bahwa roh-roh pelindung yang sama, yang telah membantu saya selama bertahun-tahun saat saya dapat berhubungan dengan penghuni dunia roh, terus berbuat demikian bahkan setelah saya kehilangan kemampuan itu. Ketika kekuatan saya sebagai medium kembali, saya putuskan untuk melakukan yang terbaik demi membuat orang-orang lain memahami roh-roh.
Keinginan Saya untuk Bercerita tentang Roh-roh kepada Orang Lain
Ada orang yang sama sekali tak bisa menerima gagasan tentang roh. Mereka tak dapat melihat roh, kata mereka, jadi mengapa harus percaya? Ada juga mereka yang berpendapat tentang roh-roh sebagai sesuatu yang menakutkan. Bagaimanapun, itulah gambaran paling umum mengenai roh yang tersebar di media massa.
Saya tak yakin sejauh mana usaha saya bisa mengubah pandangan yang dianut hampir semua orang di dunia itu. Bagaimanapun, saya merasa berjuang sendirian. Sekalipun terbayang berbagai kesulitan dalam memperjuangkannya, saya merasa terdorong untuk mengatakan yang sebenarnya mengenai dunia roh kepada orang-orang di sekitar saya. Saya mencoba melakukannya melalui sejumlah paket acara televise, tetapi tidak satu pun yang benar-benar memuaskan saya.
“Roh sama sekali bukan seperti yang Anda bayangkan!” Sering saya ingin berteriak begitu, tetapi saya sadar cuma sedikit saja yang dapat saya lakukan untuk mengubah pandangan mengenai dunia roh dengan akar-akar historis yang kuat.
Para produser program acara telivisi itu pun punya masalah mengenai topic itu: dituntut untuk menyajikan gambaran tentang sesuatu yang tak dapat mereka lihat dan yang sama sekali tak mereka ketahui, maka program acara yang mereka hasilkan pun hanya sebatas itu.
Sering orang mengatakan pada saya, “Pasti menyenangkan dapat berkomunikasi dengan roh-roh dan mengetahui hal-hal yang tidak diketahui orang lain”. Jangan percaya itu. Sekadar mengatakan pada orang-orang mengenai bakat khusus saya sudah cukup untuk memastikan suatu sambutan dingin dari banyak orang.
Selama bertahun-tahun saya tidak mengatakan apa-apa kepada anak-anak saya mengenai kemampuan saya berkomunikasi dengan roh-roh. Menjelaskan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dalam istilah-istilah ilmiah bukan pekerjaan mudah, dan saya percaya bahwa bersikap sebagai ibu dan istri yang biasa-biasa saja adalah sikap yang paling bijaksana.
Berkomunikasi dan bergaul dengan roh-roh selama bertahun-tahun telah mengajar saya tentang betapa para roh itu sangat membutuhkan perhatian serta cinta dari kita yang masih hidup, dan saya menjadi yakin bahwa kewajiban sayalah untuk membuat setiap orang menyadari kebenaran ini. Tetapi, memenuhi kewajiban itu berarti berhenti menjadi ibu biasa, dan diri saya pun akan terbagi antara memenuhi tugas istimewa dan mempertimbangkan perasaan anak-anak selama beberapa waktu.
Tahun-tahun sebagai “Wanita Biasa”
Saya tak pernah membicarakan pengalaman-pengalaman saya sebagai seorang medium dengan suami: ia termasuk orang yang hanya percaya pada segala sesuatu yang dapat dibuktikan secara ilmiah.
Saya menyimpan apa yang saya ketahui tentang dunia roh hanya untuk diri saya sendiri, dengan perasaan bersalah karena seolah-olah merahasiakannya. Bagaimanapun, kemampuan saya sebagai medium pudar saat saya berumur 21 tahun, dan itu berlangsung terus sampai saat saya menikah dan punya anak. Kalau ada artikel dalam majalah atau surat kabar yang berkaitan dengan spiritualisme dan fenomena adikodrati, saya akan bertanya pada suami saya apa pendapatnya mengenai masalah-masalah itu, sambil bersikap seolah-olah saya sendiri tak begitu berminat. Jawabannya selalu sama.
“Hal-hal semacam itu sama sekali tak mungkin terjadi. Orang yang percaya akan roh adalah orang yang sakit mental atau nyaris sakit mental”.
Baginya, dunia roh bukan topic yang perlu dibicarakan secara serius. Berhadapan dengan sikap seperti itu, saya memutuskan lebih baik tak mencoba berbicara tentang dunia roh, dan tidak menceritakan segala peristiwa yang pernah saya alami.
Tiga orang anak sudah saya lahirkan. Tahun-tahun pun berlalu. Kekuatan spiritual saya belum kembali. Kekuatan itu baru muncul kembali pada hari ketika anak bungsu saya menginjak usia empat tahun dan masuk taman kanak-kanak. Karena dua kakaknya bersekolah di tempat yang sama, saya pun tak ragu memasukkan si bungsu ke sekolah itu. Pada saat-saat sendirian, ketika anak-anak bersekolah, muncul perasaan dalam diri saya untuk bekerja; pekerjaan yang mungkin tak memerlukan waktu terlalu banyak. Tetapi saya sendiri tak punya gambaran pasti tentang jenis pekerjaan yang ingin saya lakukan. Harus saya akui, saya sangat disubukkan oleh anak-anak saya.
Pada Hari Anak Bungsu Saya Masuk Taman Kanak-kanak
Terjadilah pada hari saya mengantar anak perempuan saya terkecil ke taman kanak-kanak untuk pertama kali. Di pintu masuk, saya berlari-lari kecil menemui seorang teman yang sudah bertahun-tahun tak pernah bertemu. Kami dapat dikatakan sebaya, dan sama-sama untuk pertama kalinya memasukkan anak bungsu kami ke taman kanak-kanak.
“Aduuuh, sudah bertahun-tahun, bukan!” serunya, sambil menambahkan, “Kamu jadi lebih gemuk sekarang, bukan?”
“Kukira demikian, aku bermalas-malasan akhir-akhir ini!” jawab saya.
Setelah sedikit berbasa-basi, saya mengajaknya ke rumah untuk minum kopi. Ia langsung menerima ajakan saya. Sambil melepas rindu atas masa kanak-kanak kami yang “hilang”, kami duduk sambil menghirup kopi panas. Tetapi tiba-tiba saya melihat gambaran sebuah batu nisan yang runtuh muncul di belakang bahu kiri teman lama saya itu.
Selama beberapa saat daerah di belakang teman saya berubah menjadi pekuburan luas dan dinding rumah saya menjadi sebuah ladang. Atap, yang berwarna putih, kelihatannya berubah menjadi biru langit, dengan awan-awan putih halus melintas di atasnya. “Nyonya Hayakawa, apakah makam keluargamu seperti ini?” tanya saya sambil melukiskan pemandangan yang bersinar di depan mata saya. Jawabannya tidak mengejutkan.
“Ya… makam keluargaku ada di sana selama hampir seratus tahun. Tetapi bagaimana mungkin kau dapat mengetahuinya padahal kau tak pernah pergi ke sana?” jawabnya berhati-hati.
“Ada tanaman padi di samping makam itu, kira-kira setinggi ini”, lanjut saya, sambil mengangkat tangan dalam jarak sekitar empat inci. Nyonya Hayakawa duduk terpaku, matanya berputar-putar pada waktu itu. “Satu dari batu nisan itu telah runtuh”.
Untuk waktu yang cukup lama Nyonya Hayakawa memang tidak mengunjungi rumah keluarganya. Tetapi ia mengatakan seandainya dapat menelepon ke rumah itu sekarang, ia bisa berbicara kepada saudaranya. Ia menelepon saudaranya dengan telepon dari rumah saya. Dengan tersengal-sengal, Nyonya Hayakawa meminta saudaranya untuk pergi dan memeriksa makam keluarga. Tidaklah mengherankan bahwa ia ingin tahu apakah penglihatan saya benar.
Beberapa waktu berlalu, dan akhirnya telepon di rumah saya bordering. Telepon dari saudara Nyonya Hayakawa untuk mengkonfirmasikan bahwa salah satu batu nisan memang telah roboh, mungkin akibat ulah anak-anak jalanan, ia menduga. Tetapi batu nisan tersebut rupanya bukan perhatian utamanya.
“Siapa atau wanita macam apakah Gibo itu? Bagaimana ia mengetahui hal semacam itu?” desaknya, jelas terguncang dan memutuskan pembicaraan. Sambil mendengarkan, mata Nyonya Hayakawa tak pernah lepas dari saya.
“Ya, sesungguhnya manusia macam apakah kamu?” tanyanya, lantas pergi.
Roh-roh Kembali kepada Saya
Segera saya mulai khawatir. Apa yang akan saya lakukan sekarang karena kekuatan saya kembali? Tak diragukan lagi, kata saya kepada diri sendiri, saya telah kembali melihat dunia roh, penglihatan yang dulu saya alami hampir tiap hari telah kembali. Setidaknya, perasaan saya jadi tidak keruan.
Saya panik. Apakah anugerah itu kembali kepada saya untuk selamanya? Bagaimana kalau suami saya tahu? Haruskah saya memberitahunya, dan apakah ia malah akan mengira saya ini gila? Atau, haruskah saya menyimpannya sebagai rahasia? Tetapi dapatkah saya hidup dengan rahasia semacam itu? Dan bagaimana jika Nyonya Hayakawa menyebarkan kejadian tentang makam itu kepada orang lain? Bukan berarti seolah-olah saya telah melakukan sesuatu yang salah, tetapi bagi anak-anak –betapa hal itu akan mempengaruhi diri mereka? Setumpuk pertanyaan bermunculan di benak saya.
Akhirnya, tiba saatnya menjemput anak bungsu saya dari sekolah. Dengan amat berat dan letih saya berjalan pulang, tak mampu memberikan perhatian kepada anak saya yang dengan penuh gairah menceritakan pengalaman hari pertamanya di taman kanak-kanak.
Setelah 17 tahun menghilang, kekuatan spiritual saya kembali. Sekarang saya berumur 37 tahun. Semenjak hari itu, pada waktu-waktu yang tak terduga pun, saya diganggu oleh tamu-tamu tak diundang, yang tetap saja ngotot ingin bertemu sekalipun saya bersikap tak mengacuhkan mereka. Tidak lama kemudian, anak-anak saya pun tahu tentang kemampuan saya sebagai medium, padahal saya sudah berusaha sedapat mungkin untuk menyembunyikannya dari mereka. Sebetulnya saya punya rencana untuk membuka masalah ini kepada anak-anak saya ketika mereka sudah lebih besar, saat mereka mampu menerimanya sebagai suatu masalah yang serius.
Kamis, 27 September 2007
Rabu, 19 September 2007
2 Anda Dapat Mengubah Nasib Anda
2
Anda Dapat Mengubah Nasib Anda
Mengapa Orang-orang Baik Ditimpa Kemalangan?
Kita Semua pernah mendengar orang-orang berkata, “Mengapa sesuatu yang begitu buruk harus terjadi pada orang sebaik dia?”, atau “Mengapa ini terjadi pada saya? Saya tak pernah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain!” Jika Anda merasa demikian, saya ingin Anda bertanya kepada diri sendiri: tahukah Anda, seperti apa nenek moyang Anda dua atau tiga generasi sebelum Anda?
Kita, manusia, adalah makhluk yang penuh persoalan, mudah disesatkan oleh emosi kita. Bahkan jika seseorang merasa telah menempuh hidup tanpa cela, itu tidak berarti bahwa salah seorang leluhurnya tidak bersikap acuh tak acuh dan meremehkan, atau kurang menghargai roh-roh. Lewat satu contoh, saya akan memulai cerita tentang dua anak muda yang menderita kemalangan luar biasa bukan karena kesalahan mereka sendiri.
Sebuah keluarga dengan nama Hayashi hidup di sebuah rumah besar di lingkungan tempat kami tinggal. Keluarga ini dikenal sebagai “jutawan local”. Mereka mempekerjakan seorang tukang kebun untuk mengurus tanah milik mereka yang luas. Hasil kerja tukang kebun ini sangat mengagumkan; bunga-bunga beraneka warna di kebun itu mengundang decak kagum orang-orang yang melihatnya. Rumah tinggal keluarga itu begitu besar, sehingga mereka sanggup mempekerjakan tiga orang pembantu rumah tangga yang tinggal di sana.
Keluarga Hayashi memiliki anak laki-laki bernama Katsuo. Ia anak tunggal, dan kami sungguh iri kepadanya. Bagaimanapun, kami berasal dari keluarga miskin dan kami harus berebut dengan sejumlah besar saudara untuk memperoleh perhatian orangtua kami. Setiap kali Katsuo ingin meninggalkan rumah, selalu ada seorang pembantu yang siap mengantarnya sampai pintu dengan sikap membungkuk penuh hormat. Sebuah limusin membawanya ke sekolah, suatu kemewahan yang belum pernah terdengar pada masa itu.
Suatu ketika, rumah tangga Hayashi ditimpa musibah besar dan terasa amat mendadak: orangtua Katsuo jatuh sakit dan meninggal karena suatu penyakit menular. Adik lelaki sang suami dan keluarganya pindah ke rumah itu seminggu setelah suami-istri Hayashi dimakamkan, dan itu terjadi tak lama sebelum suatu tragedy lain menimpa kembali.
Keluarga ini punya dua anak lelaki. Yang tertua seusia Katsuo. Akan tetapi, Katsuo jauh lebih cerdas daripada sepupunya, dan selalu lulus ujian dengan gemilang, sehingga ia dinilai layak masuk ke sekolah-sekolah paling bergengsi.
Ketika tiba masanya memasuki sekolah lanjutan tingkat pertama di Jepang, semua orangtua berharap agar anak-anak mereka bisa diterima di sekolah paling bergengsi. Oleh karena itu, sangat sukarlah bagi istri sang adik untuk dengan sepenuh hati memperhatikan anak almarhum saudara sepupunya, sebab anak kandungnya sendiri harus berjuang keras untuk lulus ujian. Maka, ia mulai mengusik Katsuo dengan mengatakan bahwa ia belajar terlalu keras, atau tak perlulah baginya untuk masuk sekolah bergengsi. Dengan rasa dengki, ia mengubah sebuah gudang kecil di sudut paling utara rumah raksasa itu menjadi sebuah kamar untuk Katsuo.
Keluarga ini rupanya telah lupa akan janji-janji yang mereka ucapkan kepada orangtua Katsuo untuk mengasuh anak itu sebagai ganti kekayaan dan harta benda, dan rupanya mereka memutuskan untuk membuat hidup Katsuo lebih menderita. Bagaimana bentuk perlakuan mereka terhadap anak itu tetap merupakan misteri, tetapi saya ingat betul bahwa Katsuo mulai kelihatan menjadi kurus dan pucat. Ia jadi tampak sebagai anak yang sungguh-sungguh berbeda. Menurut para pelayan, Katsuo tak pernah kuat untuk bangkit. Bahkan ketika ia terbaring di tempat tidur karena demam, suami-istri itu tidak memberinya obat. Perlakuan yang tak manusiawi semacam itu memperburuk demam yang telah diderita, dan anak yang malang itu meninggal dunia tanpa diketahui.
Kutukan Seakan-akan Ditimpakan pada Mereka
Kepribadian kedua anak keluarga ini sungguh bertolak belakang dengan kepribadian orangtua mereka. Kedua anak itu ramah; orang-orang di lingkungannya menyukai mereka. Ketika dewasa, tibalah saatnya bagi kedua anak itu untuk meninggalkan rumah dan mengarungi kehidupannya sendiri.
Akan tetapi, yang menanti mereka adalah kehidupan penuh kemalangan, seolah-olah seseorang telah mengutuk mereka. Si anak sulung memulai suatu bisnis dengan modal uang yang diberikan oleh orangtuanya. Tetapi ketika baru saja mulai memperlihatkan kemajuan dan mulai berkembang, usahanya itu diambil alih oleh seseorang yang semula ia anggap sebagai mitra yang dapat dipercaya. Segera setelah itu, si sulung amat terkejut mendapatkan dirinya ternyata dililit utang yang begitu besar.
Adiknya juga menjalankan usahanya sendiri. Sayangnya, rumah yang ia sewa sebagai tempat usaha terbakar habis karena suatu kecelakaan yang ganjil.
Hanya kebetulankah? Bukan, kalau hari saat si sulung ditipu habis-habisan dalam bisnisnya dan hari saat rumah adiknya terbakar habis adalah persis hari peringatan meninggalnya Katsuo.
Keinginan untuk meninggalkan warisan, dalam bentuk apa pun dan dalam jumlah sekecil apa pun, kepada anak-anak merupakan sesuatu yang lazim. Tetapi jika dalam proses penyediaan warisan itu Anda mengorbankan kesejahteraan orang lain, anak-anak Anda tidak akan mungkin dapat hidup bahagia.
Roh-roh yang Dilupakan Memohon kepada Anak Cucu Mereka
Ada sebuah contoh mengapa orang-orang baik bisa saja menderita kemalangan. Ini masalah lain, dan menyangkut roh-roh yang pantas menerima perhatian kita. Ada orang yang, karena asyik dengan kesibukan sehari-hari, tak bersedia atau lupa mengunjungi makam orangtuanya; ada juga orang yang, ketika orangtuanya meninggal, acuh tak acuh terhadap kematian sanak saudara atau bahkan terhadap kehidupan mereka sendiri.
Banyak roh ditolak atau dilupakan oleh keluarga mereka. Mereka terluka karena kesepian tak tertahankan. Mereka berseru kepada keluarganya untuk mengirimkan sepatah doa cinta kepada mereka. Perhatian seperti itulah yang pertama-tama dituntut oleh para roh. Setelah merasa mendapat perhatian yang layak, barulah para roh mau membantu anak cucu mereka untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan makmur.
Jika ada orang yang bisa hidup bahagia walau ia mengesampingkan keberadaan roh-roh leluhurnya, itu berarti ia melupakan roh-roh leluhurnya yang boleh jadi menderita kesepian selama perjalanannya menuju dunia lain.
Roh-roh yang mengalami penderitaan seperti itu kemudian akan berusaha menarik perhatian keturunannya, karena mereka percaya masih ada kesempatan bagi mereka untuk dikenang. Biasanya mereka akan berupaya sampai keluarga mereka berpikir, “Bagaimana mungkin begitu banyak hal buruk terjadi secara beruntun?” dan akhirnya, “Apa yang sedang ingin disampaikan oleh roh salah seorang leluhur saya?” Itulah saat ketika orang-orang cenderung bertanya-tanya, “Mengapa sesuatu yang begitu buruk terjadi pada orang sebaik dia?”
Berpikirlah ke belakang sampai ke generasi kakek-nenek Anda. Apakah Anda punya bibi atau paman yang meninggal pada usia muda? Kalau memang ada, belum terlambat bagi Anda untuk mulai memperhatikan mereka. Roh-roh selalu siap menerima perhatian dan persembahan tulus Anda. Yang perlu Anda lakukan sederhana saja: kumpulkan bunga-bunga, boleh juga yang liar, secukupnya dan masukkan bunga-bungaan itu ke dalam sebuah gelas, lalu letakkan di sudut meja, juga segelas air. Sambil melakukan ini, jangan lupa Anda katakan, “Semua ini saya persembahkan bagi roh yang selama ini saya lupakan”.
Orang yang Beruntung, Orang yang Malang
Kegagalan dan keberhasilan dalam hidup biasanya membuat orang berpikir mengenai nasibnya. Ada orang-orang yang keberuntungannya tampak sangat kuat. Dengan kata lain, orang-orang itu terus-menerus bernasib baik. Sementara itu, ada juga orang-orang yang tampaknya tak pernah berhasil baik walaupun mereka sudah berusaha keras; keberuntungan mereka bisa disebut lemah. Leluhur orang-orang yang dianugerahi nasib baik kemungkinan besar dulunya adalah orang-orang yang mau berkorban demi menolong orang lain serta memiliki rasa hormat yang besar terhadap leluhur mereka sendiri. Dengan demikian, mereka berhasil mengembangkan gudang keberuntungan bagi anak cucunya.
Oleh karena itu, orang-orang yang percaya bahwa keberuntungannya kuat harus berupaya sebisa mungkin untuk menjaga gudang nasib baik itu bagi keturunannya. Cara yang paling baik untuk melakukan hal itu adalah dengan mengirimkan perhatian penuh kasih sayang kepada salah seorang leluhur, dan dengan tidak membiarkan diri kita diracuni oleh perasaan dengki atau sakit hati terhadap sesama yang masih hidup. Jangan pernah lupa bahwa cara kita menjalani hidup kitalah yang paling menentukan apakah anak cucu kita akan dilimpahi nasib baik atau tidak.
Jika kita lalai akan fakta ini dan terbuai oleh rentetan nasib baik, lalu tak bersedia memperhatikan orang lain dalam proses itu, dengan segera kita akan mengosongkan gudang keberuntungan yang telah diwariskan leluhur kita, dan anak cucu kita pun akan kehilangan kesempatan untuk menikmati keberuntungan itu.
Bagaimanapun, sebagai manusia, suatu saat kita pasti akan membuat kesalahan besar tanpa menyadarinya. Oleh karena itu, pentinglah untuk bersikap kritis terhadap diri kita sendiri agar kita tetap bersikap wajar; juga janganlah kita lupa untuk mengucapkan rasa syukur kepada leluhur kita.
Kita tentu pernah mendengar seseorang yang hampir selalu menang undian atau menang taruhan dalam bentuk apa pun. Jangan keliru, keberuntungan seperti ini tak sedikit pun punya kaitan dengan kemurahan hati para roh. Maka, jika ada dari antara pembaca buku ini yang berpikir untuk memberikan penghormatan kepada leluhurnya hanya dengan harapan untuk menang undian atau taruhan, saya pasti akan mengatakan kepada mereka untuk tak usah membuang-buang waktu. Kedua keberuntungan yang tadi saya kemukakan sama sekali tak saling berhubungan. Sejauh yang bisa saya lihat, keberuntungan yang membuat seseorang hampir selalu tepat melakukan tebakan adalah keberuntungan yang sifatnya sementara dan kebetulan belaka, sehingga bukan merupakan keberuntungan yang sunguh-sungguh bermakna.
Bangsa Jepang punya sebuah ungkapan yang secara harfiah bisa diartikan “dirasuki oleh setan”. Ungkapan itu merujuk pada pikiran jahat atau tindakan yang sedemikian tak bermoral yang dimiliki atau dilakukan oleh seseorang, sehingga orang itu seolah-olah dirasuki oleh setan. Tetapi ungkapan itu tidak bisa diartikan begini: “setanlah yang memaksa saya berbuat begitu”, yang terasa lebih ringan. Saya selalu merasakan ungkapan Jepang itu sarat dengan nuansa supernatural.
Ada orang yang selalu beranggapan bahwa setanlah yang merasuki diri mereka sehingga mereka melakukan hal-hal yang merugikan. Padahal, semua itu terjadi karena mereka sendiri bertindak sembrono, dan alasan “dirasuki setan” hanya sekadar ingin melepaskan tanggung jawab. Lain halnya bila sesuatu yang tidak enak menimpa seseorang yang selalu bersikap penuh pertimbangan, barulah istilah “dirasuki atau dipengaruhi oleh setan” bisa diterima.
Bila seseorang mempertimbangkan segala sesuatunya dengan sikap sabar dan tenang, roh pelindungnya akan melakukan apa saja yang dapat dilakukan untuk membantu orang tersebut membuat keputusan terbaik. Orang yang mengambil keputusan dalam keadaan sangat emosional atau sangat tertekan akan sangat mungkin melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan. Itu bukan karena setan merasuki dan menghalangi kemampuan mereka untuk membuat keputusan yang tepat, melainkan lebih karena mereka membiarkan diri mereka masuk dalam keadaan ketika roh pelindung mereka tak dapat mengawasi mereka. Oleh karena itu, dalam keadaan bagaimana pun kita tetap harus berkepala dingin.
Kemungkinan besar lain yang juga akan membuat kita cenderung melakukan keputusan yang buruk adalah apabila leluhur kita lalai memberikan penghormatan kepada roh-roh –ini berarti kita tak akan mempunyai roh pelindung yang kuat untuk membantu kita.
Orang sering bicara tentang sesuatu yang “kebetulan” terjadi, atau berkata bahwa mereka “ditakdirkan” bernasib malang. Tetapi segala sesuatu yang terjadi selama hidup kita berkaitan, melalui cara tertentu, dengan hubungan yang sangat penting antara diri kita sendiri dan leluhur kita.
Kita tidak pernah terlambat untuk mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik. Cobalah untuk memperhatikan roh-roh leluhur Anda atau roh-roh orang-orang yang Anda sayangi. Sajikanlah persembahan kecil bagi mereka. Sesungguhnya, roh baik hati. Mereka akan menerima semua pesan cinta Anda dengan penuh rasa terima kasih, dan akan berbuat sebaik mungkin untuk membimbing serta ikut menanggung beban Anda.
Anda Dapat Mengubah Nasib Anda
Mengapa Orang-orang Baik Ditimpa Kemalangan?
Kita Semua pernah mendengar orang-orang berkata, “Mengapa sesuatu yang begitu buruk harus terjadi pada orang sebaik dia?”, atau “Mengapa ini terjadi pada saya? Saya tak pernah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain!” Jika Anda merasa demikian, saya ingin Anda bertanya kepada diri sendiri: tahukah Anda, seperti apa nenek moyang Anda dua atau tiga generasi sebelum Anda?
Kita, manusia, adalah makhluk yang penuh persoalan, mudah disesatkan oleh emosi kita. Bahkan jika seseorang merasa telah menempuh hidup tanpa cela, itu tidak berarti bahwa salah seorang leluhurnya tidak bersikap acuh tak acuh dan meremehkan, atau kurang menghargai roh-roh. Lewat satu contoh, saya akan memulai cerita tentang dua anak muda yang menderita kemalangan luar biasa bukan karena kesalahan mereka sendiri.
Sebuah keluarga dengan nama Hayashi hidup di sebuah rumah besar di lingkungan tempat kami tinggal. Keluarga ini dikenal sebagai “jutawan local”. Mereka mempekerjakan seorang tukang kebun untuk mengurus tanah milik mereka yang luas. Hasil kerja tukang kebun ini sangat mengagumkan; bunga-bunga beraneka warna di kebun itu mengundang decak kagum orang-orang yang melihatnya. Rumah tinggal keluarga itu begitu besar, sehingga mereka sanggup mempekerjakan tiga orang pembantu rumah tangga yang tinggal di sana.
Keluarga Hayashi memiliki anak laki-laki bernama Katsuo. Ia anak tunggal, dan kami sungguh iri kepadanya. Bagaimanapun, kami berasal dari keluarga miskin dan kami harus berebut dengan sejumlah besar saudara untuk memperoleh perhatian orangtua kami. Setiap kali Katsuo ingin meninggalkan rumah, selalu ada seorang pembantu yang siap mengantarnya sampai pintu dengan sikap membungkuk penuh hormat. Sebuah limusin membawanya ke sekolah, suatu kemewahan yang belum pernah terdengar pada masa itu.
Suatu ketika, rumah tangga Hayashi ditimpa musibah besar dan terasa amat mendadak: orangtua Katsuo jatuh sakit dan meninggal karena suatu penyakit menular. Adik lelaki sang suami dan keluarganya pindah ke rumah itu seminggu setelah suami-istri Hayashi dimakamkan, dan itu terjadi tak lama sebelum suatu tragedy lain menimpa kembali.
Keluarga ini punya dua anak lelaki. Yang tertua seusia Katsuo. Akan tetapi, Katsuo jauh lebih cerdas daripada sepupunya, dan selalu lulus ujian dengan gemilang, sehingga ia dinilai layak masuk ke sekolah-sekolah paling bergengsi.
Ketika tiba masanya memasuki sekolah lanjutan tingkat pertama di Jepang, semua orangtua berharap agar anak-anak mereka bisa diterima di sekolah paling bergengsi. Oleh karena itu, sangat sukarlah bagi istri sang adik untuk dengan sepenuh hati memperhatikan anak almarhum saudara sepupunya, sebab anak kandungnya sendiri harus berjuang keras untuk lulus ujian. Maka, ia mulai mengusik Katsuo dengan mengatakan bahwa ia belajar terlalu keras, atau tak perlulah baginya untuk masuk sekolah bergengsi. Dengan rasa dengki, ia mengubah sebuah gudang kecil di sudut paling utara rumah raksasa itu menjadi sebuah kamar untuk Katsuo.
Keluarga ini rupanya telah lupa akan janji-janji yang mereka ucapkan kepada orangtua Katsuo untuk mengasuh anak itu sebagai ganti kekayaan dan harta benda, dan rupanya mereka memutuskan untuk membuat hidup Katsuo lebih menderita. Bagaimana bentuk perlakuan mereka terhadap anak itu tetap merupakan misteri, tetapi saya ingat betul bahwa Katsuo mulai kelihatan menjadi kurus dan pucat. Ia jadi tampak sebagai anak yang sungguh-sungguh berbeda. Menurut para pelayan, Katsuo tak pernah kuat untuk bangkit. Bahkan ketika ia terbaring di tempat tidur karena demam, suami-istri itu tidak memberinya obat. Perlakuan yang tak manusiawi semacam itu memperburuk demam yang telah diderita, dan anak yang malang itu meninggal dunia tanpa diketahui.
Kutukan Seakan-akan Ditimpakan pada Mereka
Kepribadian kedua anak keluarga ini sungguh bertolak belakang dengan kepribadian orangtua mereka. Kedua anak itu ramah; orang-orang di lingkungannya menyukai mereka. Ketika dewasa, tibalah saatnya bagi kedua anak itu untuk meninggalkan rumah dan mengarungi kehidupannya sendiri.
Akan tetapi, yang menanti mereka adalah kehidupan penuh kemalangan, seolah-olah seseorang telah mengutuk mereka. Si anak sulung memulai suatu bisnis dengan modal uang yang diberikan oleh orangtuanya. Tetapi ketika baru saja mulai memperlihatkan kemajuan dan mulai berkembang, usahanya itu diambil alih oleh seseorang yang semula ia anggap sebagai mitra yang dapat dipercaya. Segera setelah itu, si sulung amat terkejut mendapatkan dirinya ternyata dililit utang yang begitu besar.
Adiknya juga menjalankan usahanya sendiri. Sayangnya, rumah yang ia sewa sebagai tempat usaha terbakar habis karena suatu kecelakaan yang ganjil.
Hanya kebetulankah? Bukan, kalau hari saat si sulung ditipu habis-habisan dalam bisnisnya dan hari saat rumah adiknya terbakar habis adalah persis hari peringatan meninggalnya Katsuo.
Keinginan untuk meninggalkan warisan, dalam bentuk apa pun dan dalam jumlah sekecil apa pun, kepada anak-anak merupakan sesuatu yang lazim. Tetapi jika dalam proses penyediaan warisan itu Anda mengorbankan kesejahteraan orang lain, anak-anak Anda tidak akan mungkin dapat hidup bahagia.
Roh-roh yang Dilupakan Memohon kepada Anak Cucu Mereka
Ada sebuah contoh mengapa orang-orang baik bisa saja menderita kemalangan. Ini masalah lain, dan menyangkut roh-roh yang pantas menerima perhatian kita. Ada orang yang, karena asyik dengan kesibukan sehari-hari, tak bersedia atau lupa mengunjungi makam orangtuanya; ada juga orang yang, ketika orangtuanya meninggal, acuh tak acuh terhadap kematian sanak saudara atau bahkan terhadap kehidupan mereka sendiri.
Banyak roh ditolak atau dilupakan oleh keluarga mereka. Mereka terluka karena kesepian tak tertahankan. Mereka berseru kepada keluarganya untuk mengirimkan sepatah doa cinta kepada mereka. Perhatian seperti itulah yang pertama-tama dituntut oleh para roh. Setelah merasa mendapat perhatian yang layak, barulah para roh mau membantu anak cucu mereka untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan makmur.
Jika ada orang yang bisa hidup bahagia walau ia mengesampingkan keberadaan roh-roh leluhurnya, itu berarti ia melupakan roh-roh leluhurnya yang boleh jadi menderita kesepian selama perjalanannya menuju dunia lain.
Roh-roh yang mengalami penderitaan seperti itu kemudian akan berusaha menarik perhatian keturunannya, karena mereka percaya masih ada kesempatan bagi mereka untuk dikenang. Biasanya mereka akan berupaya sampai keluarga mereka berpikir, “Bagaimana mungkin begitu banyak hal buruk terjadi secara beruntun?” dan akhirnya, “Apa yang sedang ingin disampaikan oleh roh salah seorang leluhur saya?” Itulah saat ketika orang-orang cenderung bertanya-tanya, “Mengapa sesuatu yang begitu buruk terjadi pada orang sebaik dia?”
Berpikirlah ke belakang sampai ke generasi kakek-nenek Anda. Apakah Anda punya bibi atau paman yang meninggal pada usia muda? Kalau memang ada, belum terlambat bagi Anda untuk mulai memperhatikan mereka. Roh-roh selalu siap menerima perhatian dan persembahan tulus Anda. Yang perlu Anda lakukan sederhana saja: kumpulkan bunga-bunga, boleh juga yang liar, secukupnya dan masukkan bunga-bungaan itu ke dalam sebuah gelas, lalu letakkan di sudut meja, juga segelas air. Sambil melakukan ini, jangan lupa Anda katakan, “Semua ini saya persembahkan bagi roh yang selama ini saya lupakan”.
Orang yang Beruntung, Orang yang Malang
Kegagalan dan keberhasilan dalam hidup biasanya membuat orang berpikir mengenai nasibnya. Ada orang-orang yang keberuntungannya tampak sangat kuat. Dengan kata lain, orang-orang itu terus-menerus bernasib baik. Sementara itu, ada juga orang-orang yang tampaknya tak pernah berhasil baik walaupun mereka sudah berusaha keras; keberuntungan mereka bisa disebut lemah. Leluhur orang-orang yang dianugerahi nasib baik kemungkinan besar dulunya adalah orang-orang yang mau berkorban demi menolong orang lain serta memiliki rasa hormat yang besar terhadap leluhur mereka sendiri. Dengan demikian, mereka berhasil mengembangkan gudang keberuntungan bagi anak cucunya.
Oleh karena itu, orang-orang yang percaya bahwa keberuntungannya kuat harus berupaya sebisa mungkin untuk menjaga gudang nasib baik itu bagi keturunannya. Cara yang paling baik untuk melakukan hal itu adalah dengan mengirimkan perhatian penuh kasih sayang kepada salah seorang leluhur, dan dengan tidak membiarkan diri kita diracuni oleh perasaan dengki atau sakit hati terhadap sesama yang masih hidup. Jangan pernah lupa bahwa cara kita menjalani hidup kitalah yang paling menentukan apakah anak cucu kita akan dilimpahi nasib baik atau tidak.
Jika kita lalai akan fakta ini dan terbuai oleh rentetan nasib baik, lalu tak bersedia memperhatikan orang lain dalam proses itu, dengan segera kita akan mengosongkan gudang keberuntungan yang telah diwariskan leluhur kita, dan anak cucu kita pun akan kehilangan kesempatan untuk menikmati keberuntungan itu.
Bagaimanapun, sebagai manusia, suatu saat kita pasti akan membuat kesalahan besar tanpa menyadarinya. Oleh karena itu, pentinglah untuk bersikap kritis terhadap diri kita sendiri agar kita tetap bersikap wajar; juga janganlah kita lupa untuk mengucapkan rasa syukur kepada leluhur kita.
Kita tentu pernah mendengar seseorang yang hampir selalu menang undian atau menang taruhan dalam bentuk apa pun. Jangan keliru, keberuntungan seperti ini tak sedikit pun punya kaitan dengan kemurahan hati para roh. Maka, jika ada dari antara pembaca buku ini yang berpikir untuk memberikan penghormatan kepada leluhurnya hanya dengan harapan untuk menang undian atau taruhan, saya pasti akan mengatakan kepada mereka untuk tak usah membuang-buang waktu. Kedua keberuntungan yang tadi saya kemukakan sama sekali tak saling berhubungan. Sejauh yang bisa saya lihat, keberuntungan yang membuat seseorang hampir selalu tepat melakukan tebakan adalah keberuntungan yang sifatnya sementara dan kebetulan belaka, sehingga bukan merupakan keberuntungan yang sunguh-sungguh bermakna.
Bangsa Jepang punya sebuah ungkapan yang secara harfiah bisa diartikan “dirasuki oleh setan”. Ungkapan itu merujuk pada pikiran jahat atau tindakan yang sedemikian tak bermoral yang dimiliki atau dilakukan oleh seseorang, sehingga orang itu seolah-olah dirasuki oleh setan. Tetapi ungkapan itu tidak bisa diartikan begini: “setanlah yang memaksa saya berbuat begitu”, yang terasa lebih ringan. Saya selalu merasakan ungkapan Jepang itu sarat dengan nuansa supernatural.
Ada orang yang selalu beranggapan bahwa setanlah yang merasuki diri mereka sehingga mereka melakukan hal-hal yang merugikan. Padahal, semua itu terjadi karena mereka sendiri bertindak sembrono, dan alasan “dirasuki setan” hanya sekadar ingin melepaskan tanggung jawab. Lain halnya bila sesuatu yang tidak enak menimpa seseorang yang selalu bersikap penuh pertimbangan, barulah istilah “dirasuki atau dipengaruhi oleh setan” bisa diterima.
Bila seseorang mempertimbangkan segala sesuatunya dengan sikap sabar dan tenang, roh pelindungnya akan melakukan apa saja yang dapat dilakukan untuk membantu orang tersebut membuat keputusan terbaik. Orang yang mengambil keputusan dalam keadaan sangat emosional atau sangat tertekan akan sangat mungkin melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan. Itu bukan karena setan merasuki dan menghalangi kemampuan mereka untuk membuat keputusan yang tepat, melainkan lebih karena mereka membiarkan diri mereka masuk dalam keadaan ketika roh pelindung mereka tak dapat mengawasi mereka. Oleh karena itu, dalam keadaan bagaimana pun kita tetap harus berkepala dingin.
Kemungkinan besar lain yang juga akan membuat kita cenderung melakukan keputusan yang buruk adalah apabila leluhur kita lalai memberikan penghormatan kepada roh-roh –ini berarti kita tak akan mempunyai roh pelindung yang kuat untuk membantu kita.
Orang sering bicara tentang sesuatu yang “kebetulan” terjadi, atau berkata bahwa mereka “ditakdirkan” bernasib malang. Tetapi segala sesuatu yang terjadi selama hidup kita berkaitan, melalui cara tertentu, dengan hubungan yang sangat penting antara diri kita sendiri dan leluhur kita.
Kita tidak pernah terlambat untuk mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik. Cobalah untuk memperhatikan roh-roh leluhur Anda atau roh-roh orang-orang yang Anda sayangi. Sajikanlah persembahan kecil bagi mereka. Sesungguhnya, roh baik hati. Mereka akan menerima semua pesan cinta Anda dengan penuh rasa terima kasih, dan akan berbuat sebaik mungkin untuk membimbing serta ikut menanggung beban Anda.
Sabtu, 15 September 2007
1 Roh Sungguh Ada
1
Roh Sungguh Ada
Kematian Bukanlah Akhir
Sebagai seorang yang sejak kecil sudah melihat roh-roh dan mendengar suara-suara mereka, saya tidak mungkin bersikap orang-orang pada umumnya yang percaya bahwa jiwa manusia hilang bersama dengan kematian badan. Saya sudah menyaksikan sejumlah peristiwa ketika roh para sahabat dekat dan sanak saudara terpisah dari badan mereka pada saat mereka meninggal, dan melihat roh-rohnya menghilang ke langit.
Sering saya mendengar pesan dari roh-roh: hal-hal yang tak tersampaikan kepada orang-orang yang mereka cintai, atau kisah-kisah yang tak sempat mereka ungkapkan sewaktu masih berada di antara yang hidup. Bahkan, mengatupkan tangan dalam doa untuk mengatakan bahwa harapan-harapan mereka telah didengarkan sudah cukup untuk mendatangkan sesungging senyuman pada wajah para roh, dan kadang-kadang juga ucapan salam dari mereka. Pada kesempatan-kesempatan semacam itulah para roh merasa paling senang.
Saya punya dua saudara laki-laki. Dengan merekalah saya bisa bergaul dengan enak. Adik saya, yang sangat dekat dengan saya, mengalami musibah dalam kecelakaan mobil yang fatal saat ia berusia 15 tahun. Sebagai kanak-kanak, kami tak terpisahkan dan bisa menghabiskan waktu bersama-sama tanpa jemu. Saat ia meninggal, saya berada di sisinya, dan pengalaman melihat rohnya meninggalkan tempat tidur lalu menghilang melalui jendela adalah suatu peristiwa yang tak terlupakan. Pada saat-saat itu terjadi, pertama-tama ia menatap ibu kami, kemudian masing-masing dari kami yang mengelilinginya; dengan sungguh-sungguh ia memandangi wajah kami lewat matanya yang setengah tertutup, seolah-olah ingin meyakinkan bahwa ia tak akan pernah melupakan kami. Saat-saat terakhir kehidupan adik saya itu meyakinkan saya bahwa bahkan ketika orang telah pergi dari dunia ini dan tak dapat lagi berkomunikasi dengan orang yang dicintai dengan cara biasa, ia masih menghargai kenangan manis akan orang-orang yang ditinggalkan.
Pada malam setelah kematiannya, ketika semua orang yang melayat telah pergi, saya menyelinap ke luar rumah. Ingatan saya dipenuhi oleh kenangan akan adik saya. Saya berharap, bahwa dengan meluangkan sedikit waktu di bawah cahaya bintang-bintang saya dapat mengurangi rasa duka karena kehilangan.
Di luar pintu belakang rumah kami ada sebuah pintu gerbang kecil dari kayu. Di sampingnya berdiri sebatang pohon persik yang besar. Setiap tahun, pohon itu merunduk sangat rendah karena buahnya yang lebat, yang dulu saya nikmati bersama adik saya. Ketika saya berjalan di bawah pohon itu, terjadilah ini: dalam sekejap, bayangan seorang remaja yang badannya terbaring di dalam rumah berkelebat di depan mata saya. Lalu saya sadar bahwa jiwa adik saya masih tinggal di sana, enggan meninggalkan rumah yang ia cintai.
Sejak kematiannya, adik saya mengajarkan pada saya banyak hal tentang alam roh-roh, harapan dan impian mereka yang tinggal di sana, serta apa yang mereka coba katakan kepada kita. Ia terus melakukan itu. Lama kemudian, setelah ibu serta kakak laki-laki saya meninggal dan bergabung dengannya, dari waktu ke waktu mereka mengirimkan pesan-pesan mereka masing-masing kepada saya. Mendengarkan segala sesuatu yang harus mereka sampaikan membuat saya tidak ragu sedikit pun bahwa walaupun daging dan tulang bisa membusuk setelah kematian, jiwa manusia terus hidup.
Sahabat Karib Saya, Ayako
Saya baru berusia enam tahun ketika sadar bahwa saya memiliki kemampuan seorang medium. Di hari pertama masuk sekolah dasar, saya duduk di sebelah seorang anak perempuan bernama Ayako. Rambutnya yang tebal dan lebat seperti rambut boneka-boneka milik saya, meninggalkan suatu kesan kuat yang istimewa pada diri saya. Saya juga ingat bahwa ia punya tahi lalat di sebelah hidungnya yang indah, yang menambah keayuannya. Kecantikan Ayako sungguh luar biasa sehingga seorang anak kecil pun dapat merasakannya.
Pada masa itu pakaian adalah barang mewah. Ibu saya sedapat mungkin selalu mengganti kerah dan pita pada pakaian berpotongan seragam pelaut yang saya kenakan agar pakaian itu kelihatan sedikit cerah. Tetapi, Ayako selalu mengenakan pakaian-pakaian bagus. Rasanya ia datang ke sekolah dengan pakaian berbeda setiap hari. Di mata kanak-anak saya ketika itu, roknya yang panjang dengan keliman-keliman hiasan tambahan membuatnya tampak bagai seorang putri raja.
Sehelai gaun berbintik-bintik biru, sepasang sepatu yang mengilap, dan kaus kaki berenda –suatu kemewahan yang belum dikenal pada masa itu- juga ada di antara koleksi pakaian Ayako. Semua yang dimiliki Ayako adalah “impian” bagi setiap gadis. Ayahnya, kata Ayako sendiri, adalah manajer sebuah perusahaan dan membawakan pakaian-pakaian itu dari negeri seberang saat ia pergi berbisnis.
Segala sesuatu yang dimiliki Ayako mengesankan kemewahan. Bahkan, karet penghapusnya pun sama sekali belum pernah saya lihat. Karet penghapus itu berbentuk seorang penari, sepatu merahnya yang bertumit tinggi merupakan bagian yang digunakan untuk menghapus, sedangkan bagian yang lain semata-mata hanya hiasan. Betapa inginnya saya menggunakan karet penghapus itu! Akhirnya saya mendapatkan kesempatan juga: suatu hari saya lupa membawa karet penghapus sendiri, dan ketika saya mengatakan kepada Ayako, ia langsung mengambil karet penghapusnya yang indah itu dari kotak pensil dan meletakkannya di meja saya. Tetapi, sebelum kejadian itu kebaikan hati Ayako telah membuat saya amat terkesan.
Sepulang sekolah kami berdua biasa bermain bersama. Saya ingat betapa saya selalu ingin cepat-cepat sampai di rumah, menaruh tas sekolah begitu saja, lalu bertemu dengan Ayako yang sudah menunggu di luar. Sesampai di jalanan biasanya kami berlari-lari gembira, meloncat-loncat di atas tutup-tutup lubang got untuk mendengarkan suara yang ditimbulkannya.
Kalau hari sedang hujan, biasanya kami menggambar dan memotong boneka-boneka kertas, bergantian main di rumah masing-masing. Masa-masa itu saya ingat dengan jelas sebagai salah satu saat paling menggembirakan dari kehidupan saya.
Kemudian, dengan begitu tiba-tiba, Ayako tidak masuk sekolah: sehari, lalu dua hari. Sesudah itu kami diberi tahu oleh guru kami, yang matanya sembab karena menangis, bahwa Ayako telah meninggal karena sakit mendadak.
Bangku yang Kosong
Bangku Ayako kosong. Setiap kali melihat bangkunya, dada saya terasa sesak karena sedih membayangkan kotak pensilnya yang sudah begitu saya kenal, dengan beragam isinya yang diatur rapi sekali.
Pada masa itu, ada kebiasaan pada waktu pemakaman untuk memberi setiap orang yang berkabung sebuah manju, kue kecil berisi adonan kacang lembut. Itu adalah cara untuk mengenang orang yang baru saja meninggal. Pada masa ketika di Jepang gula-gula dan kue merupakan barang langka, manju menjadi terasa sangat enak.
Ayah Ayako sangat terpukul karena kehilangan anak perempuan satu-satunya dan ia memberi kami, teman-teman sekelas Ayako, masing-masing beberapa manju, juga kantong-kantong permen kesukaan Ayako. Tetapi tak seorang pun dari kami, yang berjumlah empat puluh orang dalam kelas pertama itu, punya sepatah kata untuk diucapkan ketika menerima pemberian-pemberian murah hati itu. Suasana amat hening. Sebatang jarum yang jatuh dalam ruang kelas pada hari itu mungkin bisa terdengar: tak seorang pun dari kami mengajukan diri untuk berbicara, ingatan kami terlalu dipenuhi kenangan akan Ayako.
Sore hari itu, saya berjalan pulang dengan perasaan campur aduk: penuh kesedihan atas kematian Ayako dan kegembiraan karena menerima permen, sesuatu yang biasa pada seorang anak kecil. Saya ingat betul waktu itu musim gugur, dan guguran daun-daun kuning pohon ginkgo terbentang bagaikan karpet di tanah. Hari itu, kami semua pulang dengan perasaan terserap dalam ingatan tentang teman sekelas kami yang telah meninggal. Kenangan saat berjalan pulang dengan sedih, menendang-nendang batu-batu dengan sepatu olahraga, begitu jelas bagi saya seolah-olah terjadi kemarin.
Hidup terasa sepi tanpa kehadiran Ayako. Saya kehilangan keinginan untuk menjalin persahabatan dengan teman-teman lain. Bila teman-teman sekelas mengajak bermain, saya hanya menundukkan kepala dan kembali pada pikiran-pikiran murung saya. Hal yang sama terjadi di rumah. Kehidupan saya berubah sama sekali.
Saya Mendengar Suara Ayako
Suatu malam, ketika sedang duduk sendirian sambil bermain boneka, saya mendengar seseorang memanggil saya.
“Sini, Aiko, ayo kita bermain…”
Tak diragukan lagi. Itu suara Ayako.
“Tunggu sebentar, Ayako, aku akan segera ke sana”, jawab saya, dan berlari menuju pintu rumah. Ibu saya, terkejut mendengar saya berbicara sendiri dengan suara keras dan melihat saya kemudian berlari ke pintu, membentak dengan marah.
“Aiko, kamu omong apa? Apakah kamu baru saja mengatakan ‘Ayako, aku akan segera ke sana?’ Apa yang dikatakan Ayako padamu? Ia telah meninggal, Aiko. Demi kebaikanmu, sadarilah itu dan tenanglah”.
Tetapi sementara berdiri di pintu depan, saya mendengar suara Ayako lagi.
“Aiko, cepat! Kenapa kamu lama sekali? Lihat, aku ada disini”.
Mana mungkin saya salah? Itu suara seorang teman dengan siapa saya telah menghabiskan banyak waktu dan jam bermain yang menyenangkan.
Sambil membuka pintu, saya berseru kepada ibu saya, “Tetapi itu Ayako, aku tahu. Ia sungguh-sungguh memanggilku!”
Saat itu diluar sudah gelap. Ibu saya dengan kuat menarik bahu saya. “Masuk ke dalam sekarang”, katanya. “Sekalipun kamu merasa benar-benar mendengar suara Ayako, kamu tetap salah. Ayako sudah meninggal. Tak mungkin ia dapat memanggilmu”.
Wajahnya pucat pasi. Tanpa berkata apa-apa, saya kembali ke kamar. Ibu mengikuti dan duduk sejenak bersama saya. Kami diam di sana dalam kesunyian, mungkin selama 20 atau 30 menit. Kemudian ibu saya tiba-tiba pergi ke jendela dan menangkupkan kedua tangannya dalam doa yang khidmat.
“Ayako, buatlah jalanmu ke dunia roh yang bahagia secepatnya. Janganlah menjemput Aiko lagi. Kamu tak pernah dapat bermain bersama-sama lagi, tetapi aku berdoa agar kamu kelak dilahirkan kembali sebagai seorang anak yang ditakdirkan berumur panjang”.
Sejak itu, saya menghabiskan hari-hari saya dalam kesunyian, tidak berbicara dengan seorang pun, tidak dengan teman-teman sekelas, guru-guru, tidak juga dengan Ibu yang sangat saya cintai. Anak-anak lain mengajak saya bermain di papan luncur atau jungle gym di lapangan bermain sekolah, tetapi bagi saya usaha-usaha mereka untuk bersikap akrab justru mengganggu saya.
Akan tetapi saya tetap belajar dengan baik: dalam soal ini ayah saya amat keras, dan saya lebih suka untuk tidak memikirkan hukuman apa yang mungkin menanti jika saya menunjukkan tanda-tanda menolak pekerjaan-pekerjaan sekolah. Maka, walaupun hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan guru dengan anggukan atau gelengan kepala, saya tidak pernah lalai untuk menyalin segala sesuatu yang ada pada papan tulis ke dalam buku catatan saya.
“Ada Yang Aneh dengan Aiko…”
Selama pelajaran, guru biasanya berjalan di sekitar meja saya dan memperhatikan saya yang sedang menulis, atau mengambil buku catatan saya dan memeriksanya. Saya ingat ini dengan gambling; juga bahwa ia selalu mengatakan hal yang sama dengan bersisik.
“Ah, bagaimanapun juga, tampaknya ia belajar sebagaimana mestinya”.
Akan tetapi, tidaklah sangat mengherankan bahwa sikap diam saya mengganggunya. Ketika memanggil ibu saya ke sekolah, ia menyarankan agar ibu saya membawa saya untuk menjalani pemeriksaan medis. Oleh karena itu, saya diliburkan satu hari, untuk pergi bersama ibu saya ke sebuah rumah sakit besar.
“Anak ibu tidak menderita sakit apa pun”, kata dokter, seorang lelaki tua dengan suara yang ramah, kepada kami. “Barangkali hanya shock karena kehilangan temannya itulah yang membuatnya membisu: perlakukanlah ia sebagaimana biasanya”.
Di rumah kami, di belakang pintu depan, di bagian sebelah kiri, ada sebuah gudang. Di dalamnya tersimpan beberapa lemari berlaci. Ada jarak sekitar setengah meter di antara lemari-lemari itu, dan ketika saya merangkak masuk ke sela-sela itu lubang hidung saya diserbu bau yang sangat tajam, campuran jamur dan debu. Saya ingat sekali bagaimana saya mengaduk-aduk remukan dinding dan mengamatinya hancur menjadi tanah di depan mata saya. Anehnya, di tempat pengap inilah saya merasa paling senang.
Setiap kali saya duduk di tempat itu, Ayako akan menampakkan dirinya di hadapan saya dan berkata sambil tersenyum, “Aiko, tahukah kamu bahwa besok aka nada pemakaman? Akan kutunjukkan tempat kamu bisa mendapatkan manju”. Dan di depan mata saya muncul suatu gambaran, sejelas gambar di layar televise, tempat ke mana saya harus pergi.
Sejak lahir telinga kanan saya agak tuli dan, akibat suatu kecelakaan, penglihatan dengan mata kiri saya kabur. Kedua cacat itu tidak mencolok. Tetapi dengan telinga kanan itulah saya mendengar suara-suara roh, dan dengan mata kiri itulah saya melihat wajah mereka.
Saya menggambarkan penampakan-penampakan yang saya alami mirip seperti menonton layar televise, tetapi warna-warnanya lebih alamiah daripada yang biasanya tampak pada film, dan kadang-kadang tampak pudar. Akan tetapi petunjuk-petunjuk yang diberikan Ayako selalu jelas dan saya tidak pernah sulit menemukan rumah tukang roti tempat saya harus belok kanan, kotak surat yang menandai gang yang harus saya telusuri, atau ke mana pun Ayako mengirim saya. Semua itu seolah-olah peta hidup yang diletakkan di depan mata saya. Juga jam pada saat pemakaman diadakan dijelaskan pada saya: jika, misalnya, upacara akan dimulai pada pukul dua sore, angka “2” biasanya tampak dalam warna putih pada “layar” di hadapan saya. Pemakaman-pemakaman di Jepang umumnya dilakukan antara pukul sepuluh dan tiga, maka wajar saja bahwa angka yang muncul selalu terentang dalam batas itu.
Karena mengetahui saat mulainya pemakaman, biasanya saya jadi tak dapat berkonsentrasi di sekolah pada hari itu. Saya tahu bahwa saya harus pulang, menaruh tas saya, dan pergi ke tempat pemakaman diadakan.
Ketika Saya Amati, Lelaki yang Meninggal Itu Berbicara pada Saya
Pada hari yang telah dikatakan, saya tergesa-gesa ke pemakaman yang dimulai pada pukul dua, dengan mengikuti petunjuk yang saya terima. Petunjuk itu antara lain: belok ke kanan begitu sampai di toko seorang pedagang beras, dari situ mencari sebuah pohon besar tempat pemakaman akan dilangsungkan. Saya sampai di tempat itu pada pukul setengah tiga sore, saat tempat itu sudah dipenuhi orang yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum.
Sebuah foto seorang lelaki gemuk berwajah riang tergantung di ruang depan sebuah rumah dekat situ. Ia tampak berada dalam kondisi kesehatan yang prima, tetapi gambar itu dililit pita hitam. Mereka yang duduk di sekelilingnya sedang menyeka air mata. Tiba-tiba, ketika melihat ke wajah lelaki dalam gambar itu, saya mendengar ia berkata kepada saya.
“Aiko”, katanya. “Dulu saya punya seekor anjing yang sangat saya cintai bernama Kuro. Bisakah kamu meminta keluarga saya untuk menaruh foto Kuro bersama saya di dalam peti mati?”
Saya menyetujuinya, tetapi kemudian langkah-langkah saya terhenti: Bagaimana saya, yang tak kenal siapa pun di tempat itu, harus menyampaikan pesan itu? Saya berpikir sejenak, kemudian menemukan apa yang tampaknya merupakan cara paling baik. Sambil mengambil secarik kertas kecil dari saku, saya mencari sesuatu untuk menulis. Karena melihat empat atau lima pensil di atas meja tempat orang-orang yang berkabung menuliskan namanya dan meninggalkan derma, saya ambil satu pensil dan tergesa-gesa menuliskan pesan yang harus saya sampaikan dengan tulisan cakar ayam. Sambil menyisipkan kertas itu ke dalam genggaman tangan salah satu anggota keluarganya, saya berbalik dan berlari pulang, dengan tak melupakan manju saya, dan langsung masuk ke tempat rahasia saya.
Setelah beberapa menit berlalu, dan cukup bagi saya untuk mengambil nafas dan menjadi tenang kembali, sekali lagi saya mendengar suara lelaki gemuk itu.
“Saya sudah mendapatkan foto Kuro, Aiko. Terima kasih”, katanya, suaranya penuh kegembiraan. Ketika ia berbicara, wajahnya tampak di hadapan saya.
Walaupun hanya seorang anak kecil, saya tahu bahwa keluarga lelaki itu telah melakukan hal yang benar, dan itu membuat saya terkesan sebab tahu bahwa orang itu akan pergi ke dunia roh dengan membawa foto binatang kesayangannya. Hal itu pun menggetarkan jiwa saya sebab saya sadar telah memenuhi tanggung jawab besar semacam itu dengan baik.
Gadis yang Hanya Dapat Berbicara kepada Roh
Sebagai kanak-kanak, saya sering menjadi sumber percekcokan orangtua saya. “Aku tak tahu apa yang telah kau ajarkan padanya, tapi lihatlah ia! Sekarang ia tak mau bicara sepatah kata pun kepada siapa pun”.
Menanggapi itu, ibu saya biasanya menjawab, “Apakah kamu tidak menyadari bahwa ia memang pendiam? Berilah ia waktu beberapa tahun –dan selama waktu itu akan lebih baik lagi jika kamu memperlakukannya dengan kasih sayang yang lebih besar. Aku bukan satu-satunya orang yang bisa disalahkan…”
Di mata orang lain, saya pasti kelihatan menjadi seorang gadis kecil yang sangat kesepian. Tetapi, sesungguhnya sama sekali tidak demikian. Pesan-pesan yang saya terima dari dunia roh memungkinkan bisa menikmati banyak manju, dan saya selalu dapat bercakap-cakap dengan Ayako, teman saya yang paling baik. Saya sama sekali tidak kesepian. Sebaliknya, kata-kata yang ditujukan kepada saya oleh para famili dan guru-guru yang cemas, sekalipun dengan maksud-maksud yang sangat baik, lebih merupakan gangguan bagi saya.
Sekolah dasar saya terletak di pinggir sebuah sungai, dan setiap kali ada orang jatuh atau terjun ke sungai itu karena mencoba bunuh diri, saya akan mendengar suara deru air di telinga kanan saya. Apabila hal itu terjadi, saya akan meninggalkan ruang kelas dan keluar lewat koridor, mengikuti suara itu, dan berlari ke pos polisi setempat untuk melaporkan bahwa seseorang telah terjun ke sungai.
Guru-guru saya telah lama menghentikan teguran atas tingkah laku saya itu. Bagaimanapun, sulit bagi mereka untuk menghukum saya karena meninggalkan kelas sementara mereka sendiri melihat bahwa polisi setempat berterima kasih kepada saya karena telah member informasi tentang orang tenggelam. Sekarang pun saya dapat mengingat kembali pandangan-pandangan penuh keraguan di wajah mereka.
Malam harinya, setelah dinyatakan mati tenggelam, korban biasanya menampakkan diri kepada saya. Mereka selalu amat ingin untuk menceritakan kepada saya keadaan-keadaan di sekitar kematian mereka dan meminta saya untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada orang yang mereka cintai. Mulai saat itu, kehidupan saya berkisar di seputar para roh dan semua komunikasi yang mereka sampaikan kepada saya.
Menjelajahi Rumah-rumah Berhantu
Sampai pada bagian ini, saya terutama menceritakan masa kanak-kanak saya, yang sebagian besar saya habiskan bersama roh-roh. Tetapi itu hanya awal dari hubungan saya dengan dunia roh. Belum lama ini saya terlibat dalam pembuatan acara berseri televisi berjudul “Menjelajahi Rumah-rumah Berhantu”. Selama masa pembuatan paket acara itu, saya berkesempatan mengunjungi sejumlah lokasi berhantu di berbagai Negara.
Tetapi perjalanan-perjalanan saya tidak dimulai dengan pembuatan serial televise seperti itu. Selama bertahun-tahun, saya telah melakukan berbagai perjalanan atas kemauan saya sendiri. Selama tahun-tahun itulah saya mengembangkan keingintahuan saya yang kuat mengenai bagaimana dan mengapa rumah-rumah tertentu memperoleh reputasi “berhantu”, seperti drama kehidupan nyata yang berlangsung di balik dinding-dinding rumah-rumah itu selama bertahun-tahun yang lalu.
Taiwan adalah tempat pertama yang saya kunjungi, lalu Hong Kong, dan kemudian Eropa. Semenjak mengunjungi sejumlah besar rumah, saya dapat merasakan suatu pola tertentu mengenai keadaan roh-roh di dalam setiap rumah. Rumah-rumah yang lebih tua hampir bisa dipastikan lebih hebat mengalami “gangguan” dari berbagai macam roh, yang banyak di antaranya telah menjadi hantu-hantu yang merana. Saya juga sampai pada kesimpulan bahwa lebih banyak rumah berhantu di negara-negara yang perkembangan sejarahnya berlangsung berabad-abad.
Kehidupan dengan mudah dapat dilihat sebagai rangkaian persoalan antara pria dan wanita, atau persoalan yang berakar dalam keinginan material. Berapa banyak orang yang selama berabad-abad telah diperlakukan dengan semena-mena oleh kekasih atau pasangan hidupnya? Berapa banyak yang telah kehilangan hak milik atau harta benda hasil kerja kerasnya karena ditipu? Hampir dalam semua kasus, kepahitan dan penderitaan yang mengiringi kejadian-kejadian semacam itulah yang menyebabkan rumah-rumah menjadi berhantu.
Eropa mempunyai sejarah panjang perebutan kekuasaan yang keji. Selama berabad-abad, raja-raja yang tak terhitung banyaknya digulingkan dari tahta mereka, dan tak terhitung banyaknya orang yang ditipu dalam soal warisan oleh sanak keluarganya sendiri yang jahat. Akibatnya, sebagian besar jenis gangguan hantu yang muncul di sana berkisar pada masalah uang dan konflik kekuasaan. Rumah tak akan berhantu tanpa alasan yang memadai, kecuali sebagai akibat langsung dari kejadian-kejadian tragis di masa lampau.
Roh yang Terkurung: Permohonan Tragis Mereka Kepada Kita
Biasanya, begitu tiba di sebuah rumah yang punya sejarah panjang, telinga saya akan langsung diserbu oleh permohonan-permohonan dari para roh yang kesepian. Karena roh-roh itu putus asa untuk bisa berbicara kepada seseorang, saya hanya punya sedikit pilihan kecuali mendengarkan.
Suara para roh yang mendiami rumah-rumah berhantu selalu diwarnai kesedihan dan penderitaan. Ada yang kesedihan dan penderitaannya sedemikian besar sehingga saya ingin menutup telinga saya dan menyuruh mereka diam. Kadang-kadang, hanya dengan berdiri di depan sebuah rumah semacam itu, saya akan merasa kedinginan seperti disiram seember air es, atau saya merasakan kaki saya membeku dan tak dapat digerakkan.
Kalau hal semacam itu terjadi, saya tahu bahwa apa yang saya namakan “hantu-hantu yang terkurung dalam rumah” tersebut sedang berusaha untuk membuat kehadiran mereka bisa dirasakan. Itulah hantu orang-orang yang telah meninggal dalam rumah mereka sendiri dan kemudian tak mampu meninggalkannya.
Dari semua aktivitas yang dilakukan manusia, perang adalah yang saya anggap paling tercela. Selama berabad-abad, ribuan manusia dikorbankan dalam perang besar-besaran, dan saya sudah sering menyaksikan roh para korban perang itu mengembara ke tempat-tempat mereka dulu dibunuh, tak dapat beristirahat. Seandainya perang tidak pernah terjadi, jiwa-jiwa yang menderita dan rumah-rumah berhantu tidak akan ada, dan, bagi saya, inilah alasan yang baik untuk melarang semua konflik kejam dan tak berperikemanusiaan. Pikiran tentang perang memenuhi diri saya dengan kemarahan dan kesedihan sedemikian rupa sehingga ada saat ketika saya ingin meluapkan perasaan saya dengan berteriak keras agar bisa didengar sampai ke seluruh dunia.
Karena saya dapat berkomunikasi dengan para roh, mereka menceritakan kepada saya apa saja yang terjadi dan secara khusus mereka alami, yaitu alasan bagi ketidakmampuan mereka untuk menjadi tenang. Bagi mereka yang tak dapat secara langsung berbicara dengan roh-roh, mencari informasi semacam itu berarti menyelidiki sejarah rumah dan lingkungan di seputar rumah itu. Jika suatu kejadian tragis melibatkan seseorang yang tinggal dalam rumah Anda atau sebuah tempat yang tak jauh, letakkanlah segelas air di sudut ruangan sebagai sebuah persembahan, dan tangkupkanlah tangan Anda dalam sikap doa sambil memikirkan roh yang bersangkutan. Tindakan Anda akan sangat berarti dalam menyenangkan hati hantu yang terkurung.
Pada saatnya, roh-roh akan mencari bantuan dari yang masih hidup, atau muncul untuk memperlihatkan kemarahan kepada mereka, dengan menimbulkan kebingungan atau ketidakbahagiaan. Menenangkan roh semacam itu dengan cara yang telah saya sebutkan akan beroleh ucapan terima kasih mereka, dan sangat besar kemungkinan bahwa semua kegiatan yang menyusahkan dihentikan, serta memungkinkan penghuni rumah itu kembali menjalani kehidupan yang wajar.
Penganut Kristen di Unzen
Saya pernah berkunjung ke Unzen, suatu daerah yang terkenal karena sumber air panasnya. Tak seorang pun yang pernah melintasi daerah ini tidak terkesan oleh pemandangan misterius dari awan gemawan yang terbentuk oleh uap air panas yang menyembul di antara bukit-bukit nan hijau.
Tetapi, bagi saya, keindahan Unzen kalah dengan pemandangan yang lebih menyeramkan. Di bawah saya, di balik uap itu, saya dapat melihat sekelompok orang berpakaian putih; mereka didorong secara kasar oleh orang-orang yang tampaknya semacam para petugas. Saya segera sadar bahwa yang saya lihat itu adalah sebuah penampakan mengenai suatu kejadian yang sebenarnya tak terjadi. Meskipun demikian, pemandangan itu tetap menakutkan saya.
Ketika saya amati, para tawanan berpakaian putih itu, yang diikat bersama dengan tali yang membentuk suatu tanda silang pada setiap dada mereka, dituntun menuju tepi kolam yang bergelembung-gelembung dan didorong masuk satu per satu. Ketakutan serta kesedihan menguasai saya, dan saya seperti terpaku di tempat itu, tak dapat memaksa diri sendiri untuk meninggalkan pemandangan yang mengerikan itu. Ketika mereka dilemparkan ke dalam kolam, saya mendengar mereka masing-masing berseru, “Amin!”
Dengan penampakan itu, kecurigaan saya diperkuat. Saya menyaksikan penindasan keji terhadap “orang-orang Jepang penganut Kristen yang bersembunyi”.
Pada waktu itu saya sedang mengumpulkan bahan untuk penulisan sebuah artikel majalah dan saya ditemani seorang fotografer.
“Saya bisa melihat beberapa orang Kristen yang bersembunyi di sana, bisakah Anda melihat mereka juga?” tanya saya kepadanya. Ketika melukiskan apa yang saya lihat, saya diliputi emosi dan air mata mulai mengalir di pipi saya.
Ia tak melihat apa-apa kecuali kelihatan terganggu dan terus mengambil foto demi foto dengan cara yang tampak sembarangan.
Dari rambut mereka yang kusut dan mata yang bersinar, saya tahu bahwa para tawanan itu adalah orang-orang Kristen tersembunyi dari abad ke-17. Wajah mereka tak memperlihatkan tanda-tanda ketakutan, semata-mata karena iman yang tak tergoyahkan. Sambil berpaling kea rah pemandangan itu, yang hanya dapat terlihat oleh saya, saya tangkupkan tangan dalam sikap doa dan menundukkan kepala, dan tetap dalam keadaan itu selama beberapa waktu.
Dalam hati, saya bertanya-tanya, sudah berapa lamakah peristiwa itu terjadi? Belum lama berselang Gunung Unzen meletus, mengubur sejumlah besar orang di bawah aliran lava yang terbentang luas. Saya yakin hantu-hantu yang terkurung di tempat yang saya lihat pada hari itu masih ada di sana.
Pada saat sedang berpikir tentang sejumlah hantu yang terkurung di suatu tempat dan berseru-seru memohon pertolongan, saya tidak mampu menahan diri untuk berharap bahwa semoga semakin banyak orang yang mampu menyadari keberadaan jiwa-jiwa yang merana itu dan memanjatkan doa bagi mereka. Dengan perlindungan dan perhatian dari yang masih hidup, mungkin pemandangan yang saya lihat pada hari itu di Unzen akan berubah sedikit lebih baik.
Permohonan dari Roh-roh yang Tidak Bahagia
Selama bertahun-tahun telah saya jumpai banyak roh yang malang, bukan hanya di Unzen. Di antara mereka terdapat roh dari orang-orang yang bunuh diri dengan menenggelamkan diri ke sungai di dekat sekolah saya dulu. Beberapa roh berusaha keras untuk menjelaskan mengapa mereka memilih untuk merenggut kehidupan mereka sendiri. “Saya kesepian”, kata mereka, atau, “Saya ingin keluarga saya lebih mencintai saya”, atau, “Saya tak punya ketetapan hati untu menyelesaikan suatu tugas”. Namun mereka semua mengakhiri cerita mereka dengan mengatakan kepada saya bahwa ternyata mati adalah pilihan yang keliru.
Ketika saya masih kecil, roh-roh itu akan mengatakan kepada saya, “Saya tak bisa masuk ke dalam dunia roh seperti ini. Saya mohon, kirimkanlah kasih sayang, ucapkanlah sepatah doa buat saya –itu akan mebuat saya merasa jauh lebih baik”.
Tentu saja tak semua roh sedih. Sesungguhnya banyak yang merasa sebaliknya. Satu hal yang saya ingat benar adalah tentang seorang wanita tua di lingkungan kami yang meninggal dunia setelah menikmati kegembiraan dan kepuasan hidup. Ia wanita yang baik hati, sangat dicintai keluarganya, dan ia meninggal dengan damai, dikelilingi orang-orang yang paling dekat dengannya. Setelah kematiannya, saya sering melihatnya memelihara kebun yang sudah dirawatnya sedemikian indah, atau berjalan-jalan dengan anjingnya.
Orang-orang yang sanak saudaranya memberikan perhatian baik kepada mereka dan membuat mereka merasa dicintai serta dihargai, selalu akan tampak tersenyum dan senang ketika mereka saya lihat dengan mata kiri saya yang rabun.
Roh-roh yang Bahagia Mengungkapkan Rasa Terima Kasih Mereka
Roh-roh yang bahagia, seperti yang saya lukiskan tadi, tak pernah mendatangi saya dalam keadaan susah dan tidak bahagia, juga tak pernah membutuhkan saya untuk melakukan sesuatu bagi mereka. Sebaliknya, saya dapat mengatakan bahwa mereka terus-menerus mengawasi anak-anak dan keluarga yang telah mereka tinggalkan, melakukan yang terbaik untuk melindungi mereka.
Selain itu, masing-masing roh itu bebas dari kekhawatiran, sedemikian rupa sehingga orang ingin tahu ke mana hilangnya rasa sakit dan susah yang pasti mereka derita sebelum kematian mereka.
Mereka merasa bersyukur kepada keluarga mereka atas setiap pelayanan kecil yang dilakukan keluarga bagi mereka, bahkan jika itu hanya berupa ucapan sepotong doa sederhana atau seporsi kecil makanan kesukaan mereka di pinggir meja keluarga.
Roh tahu segala sesuatu yang diperuntukkan baginya dan, sebagai balasan, ia akan lebih mendekatkan diri kepada mereka yang masih hidup. Contohnya, karena merasa bahwa almarhum yang dicintai menyukai bunga, seseorang meletakkan pot bunga untuknya di sebuah meja di dalam rumah, sambil mengatakan, “Ini untukmu”, atau kata-kata lain dengan tujuan yang sama. Roh yang dimaksud akan menjadi senang dan tinggal dekat dengan orang yang telah mengobati kesusahannya serta menghiburnya.
Dengan mengamati berbagai perlakuan roh terhadap mereka yang masih hidup, tidaklah sulit untuk mengatakan mana roh-roh yang bahagia dan mana yang tidak bahagia.
Kalau selama ini Anda selalu mengira bahwa tidak ada apa-apa setelah kematian, pertimbangkanlah kembali perkiraan Anda itu. Jika Anda ingin hidup bahagia, Anda harus berusaha untuk menyadari sampai sejauh mana tindakan-tindakan sederhana seperti mengucapkan sepatah doa, atau membuat persembahan kecil kepada mereka yang telah meninggal, dapat mempercerah kehidupan Anda sehari-hari.
Orang yang Anda cintai mungkin telah meninggalkan dunia ini dan masuk ke dunia lain, tetapi mereka tetap menginginkan Anda bahagia, dan mereka akan melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan untuk menjamin bahwa Anda sungguh-sungguh bahagia.
Roh Sungguh Ada
Kematian Bukanlah Akhir
Sebagai seorang yang sejak kecil sudah melihat roh-roh dan mendengar suara-suara mereka, saya tidak mungkin bersikap orang-orang pada umumnya yang percaya bahwa jiwa manusia hilang bersama dengan kematian badan. Saya sudah menyaksikan sejumlah peristiwa ketika roh para sahabat dekat dan sanak saudara terpisah dari badan mereka pada saat mereka meninggal, dan melihat roh-rohnya menghilang ke langit.
Sering saya mendengar pesan dari roh-roh: hal-hal yang tak tersampaikan kepada orang-orang yang mereka cintai, atau kisah-kisah yang tak sempat mereka ungkapkan sewaktu masih berada di antara yang hidup. Bahkan, mengatupkan tangan dalam doa untuk mengatakan bahwa harapan-harapan mereka telah didengarkan sudah cukup untuk mendatangkan sesungging senyuman pada wajah para roh, dan kadang-kadang juga ucapan salam dari mereka. Pada kesempatan-kesempatan semacam itulah para roh merasa paling senang.
Saya punya dua saudara laki-laki. Dengan merekalah saya bisa bergaul dengan enak. Adik saya, yang sangat dekat dengan saya, mengalami musibah dalam kecelakaan mobil yang fatal saat ia berusia 15 tahun. Sebagai kanak-kanak, kami tak terpisahkan dan bisa menghabiskan waktu bersama-sama tanpa jemu. Saat ia meninggal, saya berada di sisinya, dan pengalaman melihat rohnya meninggalkan tempat tidur lalu menghilang melalui jendela adalah suatu peristiwa yang tak terlupakan. Pada saat-saat itu terjadi, pertama-tama ia menatap ibu kami, kemudian masing-masing dari kami yang mengelilinginya; dengan sungguh-sungguh ia memandangi wajah kami lewat matanya yang setengah tertutup, seolah-olah ingin meyakinkan bahwa ia tak akan pernah melupakan kami. Saat-saat terakhir kehidupan adik saya itu meyakinkan saya bahwa bahkan ketika orang telah pergi dari dunia ini dan tak dapat lagi berkomunikasi dengan orang yang dicintai dengan cara biasa, ia masih menghargai kenangan manis akan orang-orang yang ditinggalkan.
Pada malam setelah kematiannya, ketika semua orang yang melayat telah pergi, saya menyelinap ke luar rumah. Ingatan saya dipenuhi oleh kenangan akan adik saya. Saya berharap, bahwa dengan meluangkan sedikit waktu di bawah cahaya bintang-bintang saya dapat mengurangi rasa duka karena kehilangan.
Di luar pintu belakang rumah kami ada sebuah pintu gerbang kecil dari kayu. Di sampingnya berdiri sebatang pohon persik yang besar. Setiap tahun, pohon itu merunduk sangat rendah karena buahnya yang lebat, yang dulu saya nikmati bersama adik saya. Ketika saya berjalan di bawah pohon itu, terjadilah ini: dalam sekejap, bayangan seorang remaja yang badannya terbaring di dalam rumah berkelebat di depan mata saya. Lalu saya sadar bahwa jiwa adik saya masih tinggal di sana, enggan meninggalkan rumah yang ia cintai.
Sejak kematiannya, adik saya mengajarkan pada saya banyak hal tentang alam roh-roh, harapan dan impian mereka yang tinggal di sana, serta apa yang mereka coba katakan kepada kita. Ia terus melakukan itu. Lama kemudian, setelah ibu serta kakak laki-laki saya meninggal dan bergabung dengannya, dari waktu ke waktu mereka mengirimkan pesan-pesan mereka masing-masing kepada saya. Mendengarkan segala sesuatu yang harus mereka sampaikan membuat saya tidak ragu sedikit pun bahwa walaupun daging dan tulang bisa membusuk setelah kematian, jiwa manusia terus hidup.
Sahabat Karib Saya, Ayako
Saya baru berusia enam tahun ketika sadar bahwa saya memiliki kemampuan seorang medium. Di hari pertama masuk sekolah dasar, saya duduk di sebelah seorang anak perempuan bernama Ayako. Rambutnya yang tebal dan lebat seperti rambut boneka-boneka milik saya, meninggalkan suatu kesan kuat yang istimewa pada diri saya. Saya juga ingat bahwa ia punya tahi lalat di sebelah hidungnya yang indah, yang menambah keayuannya. Kecantikan Ayako sungguh luar biasa sehingga seorang anak kecil pun dapat merasakannya.
Pada masa itu pakaian adalah barang mewah. Ibu saya sedapat mungkin selalu mengganti kerah dan pita pada pakaian berpotongan seragam pelaut yang saya kenakan agar pakaian itu kelihatan sedikit cerah. Tetapi, Ayako selalu mengenakan pakaian-pakaian bagus. Rasanya ia datang ke sekolah dengan pakaian berbeda setiap hari. Di mata kanak-anak saya ketika itu, roknya yang panjang dengan keliman-keliman hiasan tambahan membuatnya tampak bagai seorang putri raja.
Sehelai gaun berbintik-bintik biru, sepasang sepatu yang mengilap, dan kaus kaki berenda –suatu kemewahan yang belum dikenal pada masa itu- juga ada di antara koleksi pakaian Ayako. Semua yang dimiliki Ayako adalah “impian” bagi setiap gadis. Ayahnya, kata Ayako sendiri, adalah manajer sebuah perusahaan dan membawakan pakaian-pakaian itu dari negeri seberang saat ia pergi berbisnis.
Segala sesuatu yang dimiliki Ayako mengesankan kemewahan. Bahkan, karet penghapusnya pun sama sekali belum pernah saya lihat. Karet penghapus itu berbentuk seorang penari, sepatu merahnya yang bertumit tinggi merupakan bagian yang digunakan untuk menghapus, sedangkan bagian yang lain semata-mata hanya hiasan. Betapa inginnya saya menggunakan karet penghapus itu! Akhirnya saya mendapatkan kesempatan juga: suatu hari saya lupa membawa karet penghapus sendiri, dan ketika saya mengatakan kepada Ayako, ia langsung mengambil karet penghapusnya yang indah itu dari kotak pensil dan meletakkannya di meja saya. Tetapi, sebelum kejadian itu kebaikan hati Ayako telah membuat saya amat terkesan.
Sepulang sekolah kami berdua biasa bermain bersama. Saya ingat betapa saya selalu ingin cepat-cepat sampai di rumah, menaruh tas sekolah begitu saja, lalu bertemu dengan Ayako yang sudah menunggu di luar. Sesampai di jalanan biasanya kami berlari-lari gembira, meloncat-loncat di atas tutup-tutup lubang got untuk mendengarkan suara yang ditimbulkannya.
Kalau hari sedang hujan, biasanya kami menggambar dan memotong boneka-boneka kertas, bergantian main di rumah masing-masing. Masa-masa itu saya ingat dengan jelas sebagai salah satu saat paling menggembirakan dari kehidupan saya.
Kemudian, dengan begitu tiba-tiba, Ayako tidak masuk sekolah: sehari, lalu dua hari. Sesudah itu kami diberi tahu oleh guru kami, yang matanya sembab karena menangis, bahwa Ayako telah meninggal karena sakit mendadak.
Bangku yang Kosong
Bangku Ayako kosong. Setiap kali melihat bangkunya, dada saya terasa sesak karena sedih membayangkan kotak pensilnya yang sudah begitu saya kenal, dengan beragam isinya yang diatur rapi sekali.
Pada masa itu, ada kebiasaan pada waktu pemakaman untuk memberi setiap orang yang berkabung sebuah manju, kue kecil berisi adonan kacang lembut. Itu adalah cara untuk mengenang orang yang baru saja meninggal. Pada masa ketika di Jepang gula-gula dan kue merupakan barang langka, manju menjadi terasa sangat enak.
Ayah Ayako sangat terpukul karena kehilangan anak perempuan satu-satunya dan ia memberi kami, teman-teman sekelas Ayako, masing-masing beberapa manju, juga kantong-kantong permen kesukaan Ayako. Tetapi tak seorang pun dari kami, yang berjumlah empat puluh orang dalam kelas pertama itu, punya sepatah kata untuk diucapkan ketika menerima pemberian-pemberian murah hati itu. Suasana amat hening. Sebatang jarum yang jatuh dalam ruang kelas pada hari itu mungkin bisa terdengar: tak seorang pun dari kami mengajukan diri untuk berbicara, ingatan kami terlalu dipenuhi kenangan akan Ayako.
Sore hari itu, saya berjalan pulang dengan perasaan campur aduk: penuh kesedihan atas kematian Ayako dan kegembiraan karena menerima permen, sesuatu yang biasa pada seorang anak kecil. Saya ingat betul waktu itu musim gugur, dan guguran daun-daun kuning pohon ginkgo terbentang bagaikan karpet di tanah. Hari itu, kami semua pulang dengan perasaan terserap dalam ingatan tentang teman sekelas kami yang telah meninggal. Kenangan saat berjalan pulang dengan sedih, menendang-nendang batu-batu dengan sepatu olahraga, begitu jelas bagi saya seolah-olah terjadi kemarin.
Hidup terasa sepi tanpa kehadiran Ayako. Saya kehilangan keinginan untuk menjalin persahabatan dengan teman-teman lain. Bila teman-teman sekelas mengajak bermain, saya hanya menundukkan kepala dan kembali pada pikiran-pikiran murung saya. Hal yang sama terjadi di rumah. Kehidupan saya berubah sama sekali.
Saya Mendengar Suara Ayako
Suatu malam, ketika sedang duduk sendirian sambil bermain boneka, saya mendengar seseorang memanggil saya.
“Sini, Aiko, ayo kita bermain…”
Tak diragukan lagi. Itu suara Ayako.
“Tunggu sebentar, Ayako, aku akan segera ke sana”, jawab saya, dan berlari menuju pintu rumah. Ibu saya, terkejut mendengar saya berbicara sendiri dengan suara keras dan melihat saya kemudian berlari ke pintu, membentak dengan marah.
“Aiko, kamu omong apa? Apakah kamu baru saja mengatakan ‘Ayako, aku akan segera ke sana?’ Apa yang dikatakan Ayako padamu? Ia telah meninggal, Aiko. Demi kebaikanmu, sadarilah itu dan tenanglah”.
Tetapi sementara berdiri di pintu depan, saya mendengar suara Ayako lagi.
“Aiko, cepat! Kenapa kamu lama sekali? Lihat, aku ada disini”.
Mana mungkin saya salah? Itu suara seorang teman dengan siapa saya telah menghabiskan banyak waktu dan jam bermain yang menyenangkan.
Sambil membuka pintu, saya berseru kepada ibu saya, “Tetapi itu Ayako, aku tahu. Ia sungguh-sungguh memanggilku!”
Saat itu diluar sudah gelap. Ibu saya dengan kuat menarik bahu saya. “Masuk ke dalam sekarang”, katanya. “Sekalipun kamu merasa benar-benar mendengar suara Ayako, kamu tetap salah. Ayako sudah meninggal. Tak mungkin ia dapat memanggilmu”.
Wajahnya pucat pasi. Tanpa berkata apa-apa, saya kembali ke kamar. Ibu mengikuti dan duduk sejenak bersama saya. Kami diam di sana dalam kesunyian, mungkin selama 20 atau 30 menit. Kemudian ibu saya tiba-tiba pergi ke jendela dan menangkupkan kedua tangannya dalam doa yang khidmat.
“Ayako, buatlah jalanmu ke dunia roh yang bahagia secepatnya. Janganlah menjemput Aiko lagi. Kamu tak pernah dapat bermain bersama-sama lagi, tetapi aku berdoa agar kamu kelak dilahirkan kembali sebagai seorang anak yang ditakdirkan berumur panjang”.
Sejak itu, saya menghabiskan hari-hari saya dalam kesunyian, tidak berbicara dengan seorang pun, tidak dengan teman-teman sekelas, guru-guru, tidak juga dengan Ibu yang sangat saya cintai. Anak-anak lain mengajak saya bermain di papan luncur atau jungle gym di lapangan bermain sekolah, tetapi bagi saya usaha-usaha mereka untuk bersikap akrab justru mengganggu saya.
Akan tetapi saya tetap belajar dengan baik: dalam soal ini ayah saya amat keras, dan saya lebih suka untuk tidak memikirkan hukuman apa yang mungkin menanti jika saya menunjukkan tanda-tanda menolak pekerjaan-pekerjaan sekolah. Maka, walaupun hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan guru dengan anggukan atau gelengan kepala, saya tidak pernah lalai untuk menyalin segala sesuatu yang ada pada papan tulis ke dalam buku catatan saya.
“Ada Yang Aneh dengan Aiko…”
Selama pelajaran, guru biasanya berjalan di sekitar meja saya dan memperhatikan saya yang sedang menulis, atau mengambil buku catatan saya dan memeriksanya. Saya ingat ini dengan gambling; juga bahwa ia selalu mengatakan hal yang sama dengan bersisik.
“Ah, bagaimanapun juga, tampaknya ia belajar sebagaimana mestinya”.
Akan tetapi, tidaklah sangat mengherankan bahwa sikap diam saya mengganggunya. Ketika memanggil ibu saya ke sekolah, ia menyarankan agar ibu saya membawa saya untuk menjalani pemeriksaan medis. Oleh karena itu, saya diliburkan satu hari, untuk pergi bersama ibu saya ke sebuah rumah sakit besar.
“Anak ibu tidak menderita sakit apa pun”, kata dokter, seorang lelaki tua dengan suara yang ramah, kepada kami. “Barangkali hanya shock karena kehilangan temannya itulah yang membuatnya membisu: perlakukanlah ia sebagaimana biasanya”.
Di rumah kami, di belakang pintu depan, di bagian sebelah kiri, ada sebuah gudang. Di dalamnya tersimpan beberapa lemari berlaci. Ada jarak sekitar setengah meter di antara lemari-lemari itu, dan ketika saya merangkak masuk ke sela-sela itu lubang hidung saya diserbu bau yang sangat tajam, campuran jamur dan debu. Saya ingat sekali bagaimana saya mengaduk-aduk remukan dinding dan mengamatinya hancur menjadi tanah di depan mata saya. Anehnya, di tempat pengap inilah saya merasa paling senang.
Setiap kali saya duduk di tempat itu, Ayako akan menampakkan dirinya di hadapan saya dan berkata sambil tersenyum, “Aiko, tahukah kamu bahwa besok aka nada pemakaman? Akan kutunjukkan tempat kamu bisa mendapatkan manju”. Dan di depan mata saya muncul suatu gambaran, sejelas gambar di layar televise, tempat ke mana saya harus pergi.
Sejak lahir telinga kanan saya agak tuli dan, akibat suatu kecelakaan, penglihatan dengan mata kiri saya kabur. Kedua cacat itu tidak mencolok. Tetapi dengan telinga kanan itulah saya mendengar suara-suara roh, dan dengan mata kiri itulah saya melihat wajah mereka.
Saya menggambarkan penampakan-penampakan yang saya alami mirip seperti menonton layar televise, tetapi warna-warnanya lebih alamiah daripada yang biasanya tampak pada film, dan kadang-kadang tampak pudar. Akan tetapi petunjuk-petunjuk yang diberikan Ayako selalu jelas dan saya tidak pernah sulit menemukan rumah tukang roti tempat saya harus belok kanan, kotak surat yang menandai gang yang harus saya telusuri, atau ke mana pun Ayako mengirim saya. Semua itu seolah-olah peta hidup yang diletakkan di depan mata saya. Juga jam pada saat pemakaman diadakan dijelaskan pada saya: jika, misalnya, upacara akan dimulai pada pukul dua sore, angka “2” biasanya tampak dalam warna putih pada “layar” di hadapan saya. Pemakaman-pemakaman di Jepang umumnya dilakukan antara pukul sepuluh dan tiga, maka wajar saja bahwa angka yang muncul selalu terentang dalam batas itu.
Karena mengetahui saat mulainya pemakaman, biasanya saya jadi tak dapat berkonsentrasi di sekolah pada hari itu. Saya tahu bahwa saya harus pulang, menaruh tas saya, dan pergi ke tempat pemakaman diadakan.
Ketika Saya Amati, Lelaki yang Meninggal Itu Berbicara pada Saya
Pada hari yang telah dikatakan, saya tergesa-gesa ke pemakaman yang dimulai pada pukul dua, dengan mengikuti petunjuk yang saya terima. Petunjuk itu antara lain: belok ke kanan begitu sampai di toko seorang pedagang beras, dari situ mencari sebuah pohon besar tempat pemakaman akan dilangsungkan. Saya sampai di tempat itu pada pukul setengah tiga sore, saat tempat itu sudah dipenuhi orang yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum.
Sebuah foto seorang lelaki gemuk berwajah riang tergantung di ruang depan sebuah rumah dekat situ. Ia tampak berada dalam kondisi kesehatan yang prima, tetapi gambar itu dililit pita hitam. Mereka yang duduk di sekelilingnya sedang menyeka air mata. Tiba-tiba, ketika melihat ke wajah lelaki dalam gambar itu, saya mendengar ia berkata kepada saya.
“Aiko”, katanya. “Dulu saya punya seekor anjing yang sangat saya cintai bernama Kuro. Bisakah kamu meminta keluarga saya untuk menaruh foto Kuro bersama saya di dalam peti mati?”
Saya menyetujuinya, tetapi kemudian langkah-langkah saya terhenti: Bagaimana saya, yang tak kenal siapa pun di tempat itu, harus menyampaikan pesan itu? Saya berpikir sejenak, kemudian menemukan apa yang tampaknya merupakan cara paling baik. Sambil mengambil secarik kertas kecil dari saku, saya mencari sesuatu untuk menulis. Karena melihat empat atau lima pensil di atas meja tempat orang-orang yang berkabung menuliskan namanya dan meninggalkan derma, saya ambil satu pensil dan tergesa-gesa menuliskan pesan yang harus saya sampaikan dengan tulisan cakar ayam. Sambil menyisipkan kertas itu ke dalam genggaman tangan salah satu anggota keluarganya, saya berbalik dan berlari pulang, dengan tak melupakan manju saya, dan langsung masuk ke tempat rahasia saya.
Setelah beberapa menit berlalu, dan cukup bagi saya untuk mengambil nafas dan menjadi tenang kembali, sekali lagi saya mendengar suara lelaki gemuk itu.
“Saya sudah mendapatkan foto Kuro, Aiko. Terima kasih”, katanya, suaranya penuh kegembiraan. Ketika ia berbicara, wajahnya tampak di hadapan saya.
Walaupun hanya seorang anak kecil, saya tahu bahwa keluarga lelaki itu telah melakukan hal yang benar, dan itu membuat saya terkesan sebab tahu bahwa orang itu akan pergi ke dunia roh dengan membawa foto binatang kesayangannya. Hal itu pun menggetarkan jiwa saya sebab saya sadar telah memenuhi tanggung jawab besar semacam itu dengan baik.
Gadis yang Hanya Dapat Berbicara kepada Roh
Sebagai kanak-kanak, saya sering menjadi sumber percekcokan orangtua saya. “Aku tak tahu apa yang telah kau ajarkan padanya, tapi lihatlah ia! Sekarang ia tak mau bicara sepatah kata pun kepada siapa pun”.
Menanggapi itu, ibu saya biasanya menjawab, “Apakah kamu tidak menyadari bahwa ia memang pendiam? Berilah ia waktu beberapa tahun –dan selama waktu itu akan lebih baik lagi jika kamu memperlakukannya dengan kasih sayang yang lebih besar. Aku bukan satu-satunya orang yang bisa disalahkan…”
Di mata orang lain, saya pasti kelihatan menjadi seorang gadis kecil yang sangat kesepian. Tetapi, sesungguhnya sama sekali tidak demikian. Pesan-pesan yang saya terima dari dunia roh memungkinkan bisa menikmati banyak manju, dan saya selalu dapat bercakap-cakap dengan Ayako, teman saya yang paling baik. Saya sama sekali tidak kesepian. Sebaliknya, kata-kata yang ditujukan kepada saya oleh para famili dan guru-guru yang cemas, sekalipun dengan maksud-maksud yang sangat baik, lebih merupakan gangguan bagi saya.
Sekolah dasar saya terletak di pinggir sebuah sungai, dan setiap kali ada orang jatuh atau terjun ke sungai itu karena mencoba bunuh diri, saya akan mendengar suara deru air di telinga kanan saya. Apabila hal itu terjadi, saya akan meninggalkan ruang kelas dan keluar lewat koridor, mengikuti suara itu, dan berlari ke pos polisi setempat untuk melaporkan bahwa seseorang telah terjun ke sungai.
Guru-guru saya telah lama menghentikan teguran atas tingkah laku saya itu. Bagaimanapun, sulit bagi mereka untuk menghukum saya karena meninggalkan kelas sementara mereka sendiri melihat bahwa polisi setempat berterima kasih kepada saya karena telah member informasi tentang orang tenggelam. Sekarang pun saya dapat mengingat kembali pandangan-pandangan penuh keraguan di wajah mereka.
Malam harinya, setelah dinyatakan mati tenggelam, korban biasanya menampakkan diri kepada saya. Mereka selalu amat ingin untuk menceritakan kepada saya keadaan-keadaan di sekitar kematian mereka dan meminta saya untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada orang yang mereka cintai. Mulai saat itu, kehidupan saya berkisar di seputar para roh dan semua komunikasi yang mereka sampaikan kepada saya.
Menjelajahi Rumah-rumah Berhantu
Sampai pada bagian ini, saya terutama menceritakan masa kanak-kanak saya, yang sebagian besar saya habiskan bersama roh-roh. Tetapi itu hanya awal dari hubungan saya dengan dunia roh. Belum lama ini saya terlibat dalam pembuatan acara berseri televisi berjudul “Menjelajahi Rumah-rumah Berhantu”. Selama masa pembuatan paket acara itu, saya berkesempatan mengunjungi sejumlah lokasi berhantu di berbagai Negara.
Tetapi perjalanan-perjalanan saya tidak dimulai dengan pembuatan serial televise seperti itu. Selama bertahun-tahun, saya telah melakukan berbagai perjalanan atas kemauan saya sendiri. Selama tahun-tahun itulah saya mengembangkan keingintahuan saya yang kuat mengenai bagaimana dan mengapa rumah-rumah tertentu memperoleh reputasi “berhantu”, seperti drama kehidupan nyata yang berlangsung di balik dinding-dinding rumah-rumah itu selama bertahun-tahun yang lalu.
Taiwan adalah tempat pertama yang saya kunjungi, lalu Hong Kong, dan kemudian Eropa. Semenjak mengunjungi sejumlah besar rumah, saya dapat merasakan suatu pola tertentu mengenai keadaan roh-roh di dalam setiap rumah. Rumah-rumah yang lebih tua hampir bisa dipastikan lebih hebat mengalami “gangguan” dari berbagai macam roh, yang banyak di antaranya telah menjadi hantu-hantu yang merana. Saya juga sampai pada kesimpulan bahwa lebih banyak rumah berhantu di negara-negara yang perkembangan sejarahnya berlangsung berabad-abad.
Kehidupan dengan mudah dapat dilihat sebagai rangkaian persoalan antara pria dan wanita, atau persoalan yang berakar dalam keinginan material. Berapa banyak orang yang selama berabad-abad telah diperlakukan dengan semena-mena oleh kekasih atau pasangan hidupnya? Berapa banyak yang telah kehilangan hak milik atau harta benda hasil kerja kerasnya karena ditipu? Hampir dalam semua kasus, kepahitan dan penderitaan yang mengiringi kejadian-kejadian semacam itulah yang menyebabkan rumah-rumah menjadi berhantu.
Eropa mempunyai sejarah panjang perebutan kekuasaan yang keji. Selama berabad-abad, raja-raja yang tak terhitung banyaknya digulingkan dari tahta mereka, dan tak terhitung banyaknya orang yang ditipu dalam soal warisan oleh sanak keluarganya sendiri yang jahat. Akibatnya, sebagian besar jenis gangguan hantu yang muncul di sana berkisar pada masalah uang dan konflik kekuasaan. Rumah tak akan berhantu tanpa alasan yang memadai, kecuali sebagai akibat langsung dari kejadian-kejadian tragis di masa lampau.
Roh yang Terkurung: Permohonan Tragis Mereka Kepada Kita
Biasanya, begitu tiba di sebuah rumah yang punya sejarah panjang, telinga saya akan langsung diserbu oleh permohonan-permohonan dari para roh yang kesepian. Karena roh-roh itu putus asa untuk bisa berbicara kepada seseorang, saya hanya punya sedikit pilihan kecuali mendengarkan.
Suara para roh yang mendiami rumah-rumah berhantu selalu diwarnai kesedihan dan penderitaan. Ada yang kesedihan dan penderitaannya sedemikian besar sehingga saya ingin menutup telinga saya dan menyuruh mereka diam. Kadang-kadang, hanya dengan berdiri di depan sebuah rumah semacam itu, saya akan merasa kedinginan seperti disiram seember air es, atau saya merasakan kaki saya membeku dan tak dapat digerakkan.
Kalau hal semacam itu terjadi, saya tahu bahwa apa yang saya namakan “hantu-hantu yang terkurung dalam rumah” tersebut sedang berusaha untuk membuat kehadiran mereka bisa dirasakan. Itulah hantu orang-orang yang telah meninggal dalam rumah mereka sendiri dan kemudian tak mampu meninggalkannya.
Dari semua aktivitas yang dilakukan manusia, perang adalah yang saya anggap paling tercela. Selama berabad-abad, ribuan manusia dikorbankan dalam perang besar-besaran, dan saya sudah sering menyaksikan roh para korban perang itu mengembara ke tempat-tempat mereka dulu dibunuh, tak dapat beristirahat. Seandainya perang tidak pernah terjadi, jiwa-jiwa yang menderita dan rumah-rumah berhantu tidak akan ada, dan, bagi saya, inilah alasan yang baik untuk melarang semua konflik kejam dan tak berperikemanusiaan. Pikiran tentang perang memenuhi diri saya dengan kemarahan dan kesedihan sedemikian rupa sehingga ada saat ketika saya ingin meluapkan perasaan saya dengan berteriak keras agar bisa didengar sampai ke seluruh dunia.
Karena saya dapat berkomunikasi dengan para roh, mereka menceritakan kepada saya apa saja yang terjadi dan secara khusus mereka alami, yaitu alasan bagi ketidakmampuan mereka untuk menjadi tenang. Bagi mereka yang tak dapat secara langsung berbicara dengan roh-roh, mencari informasi semacam itu berarti menyelidiki sejarah rumah dan lingkungan di seputar rumah itu. Jika suatu kejadian tragis melibatkan seseorang yang tinggal dalam rumah Anda atau sebuah tempat yang tak jauh, letakkanlah segelas air di sudut ruangan sebagai sebuah persembahan, dan tangkupkanlah tangan Anda dalam sikap doa sambil memikirkan roh yang bersangkutan. Tindakan Anda akan sangat berarti dalam menyenangkan hati hantu yang terkurung.
Pada saatnya, roh-roh akan mencari bantuan dari yang masih hidup, atau muncul untuk memperlihatkan kemarahan kepada mereka, dengan menimbulkan kebingungan atau ketidakbahagiaan. Menenangkan roh semacam itu dengan cara yang telah saya sebutkan akan beroleh ucapan terima kasih mereka, dan sangat besar kemungkinan bahwa semua kegiatan yang menyusahkan dihentikan, serta memungkinkan penghuni rumah itu kembali menjalani kehidupan yang wajar.
Penganut Kristen di Unzen
Saya pernah berkunjung ke Unzen, suatu daerah yang terkenal karena sumber air panasnya. Tak seorang pun yang pernah melintasi daerah ini tidak terkesan oleh pemandangan misterius dari awan gemawan yang terbentuk oleh uap air panas yang menyembul di antara bukit-bukit nan hijau.
Tetapi, bagi saya, keindahan Unzen kalah dengan pemandangan yang lebih menyeramkan. Di bawah saya, di balik uap itu, saya dapat melihat sekelompok orang berpakaian putih; mereka didorong secara kasar oleh orang-orang yang tampaknya semacam para petugas. Saya segera sadar bahwa yang saya lihat itu adalah sebuah penampakan mengenai suatu kejadian yang sebenarnya tak terjadi. Meskipun demikian, pemandangan itu tetap menakutkan saya.
Ketika saya amati, para tawanan berpakaian putih itu, yang diikat bersama dengan tali yang membentuk suatu tanda silang pada setiap dada mereka, dituntun menuju tepi kolam yang bergelembung-gelembung dan didorong masuk satu per satu. Ketakutan serta kesedihan menguasai saya, dan saya seperti terpaku di tempat itu, tak dapat memaksa diri sendiri untuk meninggalkan pemandangan yang mengerikan itu. Ketika mereka dilemparkan ke dalam kolam, saya mendengar mereka masing-masing berseru, “Amin!”
Dengan penampakan itu, kecurigaan saya diperkuat. Saya menyaksikan penindasan keji terhadap “orang-orang Jepang penganut Kristen yang bersembunyi”.
Pada waktu itu saya sedang mengumpulkan bahan untuk penulisan sebuah artikel majalah dan saya ditemani seorang fotografer.
“Saya bisa melihat beberapa orang Kristen yang bersembunyi di sana, bisakah Anda melihat mereka juga?” tanya saya kepadanya. Ketika melukiskan apa yang saya lihat, saya diliputi emosi dan air mata mulai mengalir di pipi saya.
Ia tak melihat apa-apa kecuali kelihatan terganggu dan terus mengambil foto demi foto dengan cara yang tampak sembarangan.
Dari rambut mereka yang kusut dan mata yang bersinar, saya tahu bahwa para tawanan itu adalah orang-orang Kristen tersembunyi dari abad ke-17. Wajah mereka tak memperlihatkan tanda-tanda ketakutan, semata-mata karena iman yang tak tergoyahkan. Sambil berpaling kea rah pemandangan itu, yang hanya dapat terlihat oleh saya, saya tangkupkan tangan dalam sikap doa dan menundukkan kepala, dan tetap dalam keadaan itu selama beberapa waktu.
Dalam hati, saya bertanya-tanya, sudah berapa lamakah peristiwa itu terjadi? Belum lama berselang Gunung Unzen meletus, mengubur sejumlah besar orang di bawah aliran lava yang terbentang luas. Saya yakin hantu-hantu yang terkurung di tempat yang saya lihat pada hari itu masih ada di sana.
Pada saat sedang berpikir tentang sejumlah hantu yang terkurung di suatu tempat dan berseru-seru memohon pertolongan, saya tidak mampu menahan diri untuk berharap bahwa semoga semakin banyak orang yang mampu menyadari keberadaan jiwa-jiwa yang merana itu dan memanjatkan doa bagi mereka. Dengan perlindungan dan perhatian dari yang masih hidup, mungkin pemandangan yang saya lihat pada hari itu di Unzen akan berubah sedikit lebih baik.
Permohonan dari Roh-roh yang Tidak Bahagia
Selama bertahun-tahun telah saya jumpai banyak roh yang malang, bukan hanya di Unzen. Di antara mereka terdapat roh dari orang-orang yang bunuh diri dengan menenggelamkan diri ke sungai di dekat sekolah saya dulu. Beberapa roh berusaha keras untuk menjelaskan mengapa mereka memilih untuk merenggut kehidupan mereka sendiri. “Saya kesepian”, kata mereka, atau, “Saya ingin keluarga saya lebih mencintai saya”, atau, “Saya tak punya ketetapan hati untu menyelesaikan suatu tugas”. Namun mereka semua mengakhiri cerita mereka dengan mengatakan kepada saya bahwa ternyata mati adalah pilihan yang keliru.
Ketika saya masih kecil, roh-roh itu akan mengatakan kepada saya, “Saya tak bisa masuk ke dalam dunia roh seperti ini. Saya mohon, kirimkanlah kasih sayang, ucapkanlah sepatah doa buat saya –itu akan mebuat saya merasa jauh lebih baik”.
Tentu saja tak semua roh sedih. Sesungguhnya banyak yang merasa sebaliknya. Satu hal yang saya ingat benar adalah tentang seorang wanita tua di lingkungan kami yang meninggal dunia setelah menikmati kegembiraan dan kepuasan hidup. Ia wanita yang baik hati, sangat dicintai keluarganya, dan ia meninggal dengan damai, dikelilingi orang-orang yang paling dekat dengannya. Setelah kematiannya, saya sering melihatnya memelihara kebun yang sudah dirawatnya sedemikian indah, atau berjalan-jalan dengan anjingnya.
Orang-orang yang sanak saudaranya memberikan perhatian baik kepada mereka dan membuat mereka merasa dicintai serta dihargai, selalu akan tampak tersenyum dan senang ketika mereka saya lihat dengan mata kiri saya yang rabun.
Roh-roh yang Bahagia Mengungkapkan Rasa Terima Kasih Mereka
Roh-roh yang bahagia, seperti yang saya lukiskan tadi, tak pernah mendatangi saya dalam keadaan susah dan tidak bahagia, juga tak pernah membutuhkan saya untuk melakukan sesuatu bagi mereka. Sebaliknya, saya dapat mengatakan bahwa mereka terus-menerus mengawasi anak-anak dan keluarga yang telah mereka tinggalkan, melakukan yang terbaik untuk melindungi mereka.
Selain itu, masing-masing roh itu bebas dari kekhawatiran, sedemikian rupa sehingga orang ingin tahu ke mana hilangnya rasa sakit dan susah yang pasti mereka derita sebelum kematian mereka.
Mereka merasa bersyukur kepada keluarga mereka atas setiap pelayanan kecil yang dilakukan keluarga bagi mereka, bahkan jika itu hanya berupa ucapan sepotong doa sederhana atau seporsi kecil makanan kesukaan mereka di pinggir meja keluarga.
Roh tahu segala sesuatu yang diperuntukkan baginya dan, sebagai balasan, ia akan lebih mendekatkan diri kepada mereka yang masih hidup. Contohnya, karena merasa bahwa almarhum yang dicintai menyukai bunga, seseorang meletakkan pot bunga untuknya di sebuah meja di dalam rumah, sambil mengatakan, “Ini untukmu”, atau kata-kata lain dengan tujuan yang sama. Roh yang dimaksud akan menjadi senang dan tinggal dekat dengan orang yang telah mengobati kesusahannya serta menghiburnya.
Dengan mengamati berbagai perlakuan roh terhadap mereka yang masih hidup, tidaklah sulit untuk mengatakan mana roh-roh yang bahagia dan mana yang tidak bahagia.
Kalau selama ini Anda selalu mengira bahwa tidak ada apa-apa setelah kematian, pertimbangkanlah kembali perkiraan Anda itu. Jika Anda ingin hidup bahagia, Anda harus berusaha untuk menyadari sampai sejauh mana tindakan-tindakan sederhana seperti mengucapkan sepatah doa, atau membuat persembahan kecil kepada mereka yang telah meninggal, dapat mempercerah kehidupan Anda sehari-hari.
Orang yang Anda cintai mungkin telah meninggalkan dunia ini dan masuk ke dunia lain, tetapi mereka tetap menginginkan Anda bahagia, dan mereka akan melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan untuk menjamin bahwa Anda sungguh-sungguh bahagia.
Manusia Tidak Mati
MANUSIA
Tidak Mati
Pengalaman spiritual
Berhubungan dengan roh-roh
“Sebagai seseorang yang sejak kecil sudah melihat
roh-roh dan berkomunikasi dengan mereka, saya tidak
lagi bisa menerima pendapat umum bahwa jiwa manusia
lenyap begitu saja seiring dengan lenyapnya tubuh”
Aiko Gibo
KATA PENGANTAR
Oleh : Colin Wilson
Di bulan Februari 1992, sebuah perusahaan televise Jepang meminta kesediaan saya untuk membuat sebuah paket acara bersama seorang medium* bernama Aiko Gibo. Pihak perusahaan televise itu menjelaskan bahwa di Jepang Aiko diyakini sebagai seorang medium yang paling diakui kehebatannya, dan pada saat itu ia sedang melakukan perjalanan keliling dunia bersama tim televise untuk memperlihatkan kemampuannya itu. Mereka juga meminta saya untuk memilihkan sebuah rumah angker di Inggris sebagai lokasi wawancara saya dengan Nyonya Gibo. Atas permintaan itu, saya pun mengusulkan sejumlah rumah angker. Ternyata perusahaan televise itu memilih sebuah pub angker –King’s Cellars– di Croydon, London selatan. Pilihan itu menyenangkan saya, sebab saya sendiri pernah mengadakan penyelidikan ke dalam pub itu sekaligus menulis tentang tempat tersebut dalam buku saya berjudul Poltergeist.
Tidak Mati
Pengalaman spiritual
Berhubungan dengan roh-roh
“Sebagai seseorang yang sejak kecil sudah melihat
roh-roh dan berkomunikasi dengan mereka, saya tidak
lagi bisa menerima pendapat umum bahwa jiwa manusia
lenyap begitu saja seiring dengan lenyapnya tubuh”
Aiko Gibo
KATA PENGANTAR
Oleh : Colin Wilson
Di bulan Februari 1992, sebuah perusahaan televise Jepang meminta kesediaan saya untuk membuat sebuah paket acara bersama seorang medium* bernama Aiko Gibo. Pihak perusahaan televise itu menjelaskan bahwa di Jepang Aiko diyakini sebagai seorang medium yang paling diakui kehebatannya, dan pada saat itu ia sedang melakukan perjalanan keliling dunia bersama tim televise untuk memperlihatkan kemampuannya itu. Mereka juga meminta saya untuk memilihkan sebuah rumah angker di Inggris sebagai lokasi wawancara saya dengan Nyonya Gibo. Atas permintaan itu, saya pun mengusulkan sejumlah rumah angker. Ternyata perusahaan televise itu memilih sebuah pub angker –King’s Cellars– di Croydon, London selatan. Pilihan itu menyenangkan saya, sebab saya sendiri pernah mengadakan penyelidikan ke dalam pub itu sekaligus menulis tentang tempat tersebut dalam buku saya berjudul Poltergeist.
Saya mulai tertarik pada segala hal yang berkaitan dengan roh ketika umur saya hamper empat puluh. Sebelumnya, saya pernah menulis tentang filsafat eksistensial – mengenai problem yang oleh H.G. Wells diringkas dalam judul Apa yang seharusnya kita lakukan dengan Kehidupan Kita? Buku pertama saya, The Outsider, berbicara tentang orang canggung yang merasa bahwa kehidupan ini dimaksudkan bagi sesuatu yang lebih tinggi daripada sekadar menjadi bahagia. Saya terutama ter tarik akan berbagai pengalaman iluminasi mistik, ketika makna alam semesta tiba-tiba tampak jelas.
*Catatan kata “medium” di sini adalah terjemahan kata psychic. Tetapi, seperti nanti bisa And abaca dalam seluruh buku ini, Nyonya Aiko Gibo tidak pernah sampai tak sadarkan diri selama proses dihubungi oleh roh-roh, seperti yang umumnya terjadi pada diri seorang medium. Ia melihat gambaran yang dimunculkan oleh roh-roh melalui mata kirinya yang nyaris buta, dan mendengarkan semua yang dikatakan roh-roh itu melalui telinga kanannya yang nyaris tuli. Roh-roh tidak pernah menggunakan tubuh Nyonya Gibo sebagai medium, seperti yang umumnya dialami seorang medium (-penyunting).
Ketika diminta menulis sebuah buku tentang klenik, pada mulanya saya skeptic, sebab saya sendiri merasa bahwa sebagian besar pengalaman yang paling batiniah pun dapat dijelaskan sebagai tipuan atas diri sendiri. Tetapi ketika mulai mempelajari lusinan kasus tentang ahli tenung, peramal, telepati, dan tempat-tempat berhantu, sadarlah saya bahwa sikap skeptis saya berdasarkan ketidaktahuan belaka. Ada banyak sekali bukti nyata tentang klenik. Lagi pula, karena kenyataan itu rupanya membuktikan bahwa pikiran manusia memiliki kekuatan mengenai hal-hal yang tak kita sadari, persoalan itu jadi relevan juga dengan pertanyaan saya mengenai makna eksistensi manusia.
Mulanya saya menyangsikan pendapat bahwa manusia tetap hidup setelah kematiannya. Tetapi, sekali lagi, studi terhadap ratusan kasus menyakinkan saya bahwa bukti mengenai hidup sesudah mati betul-betul kuat.
Di tahun 1980, ketika saya meneliti sebuah buku tentang poltergeist –atau “hantu-hantu yang menimbulkan kegaduhan di suatu tempat”- saya mendengar tentang pub King’s Cellars di Croydon, tempat hantu-hantu membanting botol-botol dan gelas-gelas, serta kadang kala menyebabkan air kloset tergelontor padahal tak ada seorang pun di sana. Pada suatu kunjungan ke pub tersebut, saya menyaksikan sendiri semua itu. Biasanya, gangguan yang disebabkan oleh hantu-hantu tersebut berlangsung paling lama satu tahun. Oleh karena itulah saya terkejut mendengar kabar bahwa hantu-hantu di Croydon masih aktif sampai sekarang. Itu pula sebabnya saya tidak ragu-ragu mengusulkan pub Croydon ketika diminta memilih lokasi untuk mewawancarai Nyonya Gibo.
Pada hari Minggu, 1 Maret, saya mennggu kedatangan tim televise di sebuah hotel di tengah kota London. Mereka tiba sekitar tengah hari dan saya diperkenalkan pada Nyonya Gibo. Saya heran bercampur senang. Karena suatu alasan yang tak masuk akal, gambaran umum mengenai seorang medium adalah fisik mereka yang kurang menarik –seringnya berhubungan dengan roh-roh biasanya membuat seorang medium luar biasa gemuk. Aiko Gibo adalah seorang wanita menarik yang memancarkan rasa humor dan vitalitas. Kemampuannya berbahasa Inggris baik sekali. Sementara menunggu produser, Nyonya Gibo menceritakan pada saya bagaimana ia menjadi seorang medium –seseorang yang mampu berhubungan dengan roh-roh.
Sebagai kanak-kanak, ceritanya, ia pendiam dan lebih suka menyendiri. Salah seorang dari sedikit teman dekatnya pada masa itu adalah Ayako, teman mainnya sepulang sekolah. Ketika secara mendadak Ayako meninggal, pada umur enam tahun, Aiko sangat terpukul. Ia semakin menarik diri lagi. Kemudian, pada suatu hari, ketika sedang bermain sendirian, ia mendengar suara Ayako berkata: “Kamu lagi ngapain?” Dan tiba-tiba, Ayako berada di dalam ruangan itu bersamanya.
Dengan keluguan seorang kanak-kanak, Aiko menerima fenomena aneh itu. Itu semata-mata membuktikan apa yang selalu ia rasakan: manusia tidak mati. Kemudian ia semakin terbiasa bercakap-cakap dengan Ayako, dan segera ia sadari bahwa temannya itu dapat meramal tentang masa depan. Antara lain Ayako pernah mengatakan pada Aiko bahwa hari berikutnya seorang lelaki akan tenggelam di sungai. Esoknya, hal itu terjadi, persis seperti yang diramalkan Ayako.
Dapatlah dimengerti bahwa orang tua Aiko sangat gelisah melihat sikap anak perempuan mereka yang amat berbeda dengan anak-anak sebayanya. Mereka meminta Aiko untuk tidak menceritakan pengalaman-pengalamannya yang aneh. Aiko menurut. Orang tuanya lebih suka bila ia menjadi anak yang biasa-biasa saja. Ketika umur Aiko mencapai akhir belasan tahun, keinginan mereka terkabul. Seperti remaja belasan tahun lainnya, Aiko ingin menikmati hidup dan bertemu dengan banyak orang. Ketika ia menjadi semakin asyik dengan kehidupan sehari-hari, kekuatannya sebagai seorang medium berangsur-angsur hilang.
Aiko menikah dengan seorang pengusaha. Kesibukan mengurus suami dan mengasuh tiga orang anak mengubahnya menjadi seorang realis, yang tidak punya waktu untuk dunia yang tak tampak. Dari umur 21 sampai 37, ia tak lagi mengalami pengalaman-pengalaman spiritual. Hingga pada suatu hari, kekuatan itu kembali sepenuhnya.
Anak lelaki bungsu Nyonya Gibo berumur empat tahun dan sudah mulai masuk taman kanak-kanak. Pada suatu hari, ketika Aiko sedang minum teh bersama seorang teman bernama Nyonya Hayakawa, tiba-tiba ia “melihat” kota kediaman Nyonya Hayakawa, tiga ratus kilometer jauhnya dari tempat mereka minum teh. Ia juga melihat sebuah makam yang salah satu batu nisannya, dan seorang lelaki tua berjenggot putih panjang, berkimono, yang mengeluh karena makamnya dibiarkan rusak dan tidak diperbaiki. Aiko memaparkan tentang makam dan lelaki tua itu kepada Nyonya Hayakawa, yang kemudian berkata dengan heran, “Sepertinya itu kakek saya”. Tetapi sejauh yang diketahuinya, makam itu dalam keadaan baik. Nyonya Hayakawa menelepon saudaranya, yang tinggal sangat dekat dengan makam itu. Saudaranya itu segera menelepon kembali untuk mengatakan bahwa batu nisan kakek mereka telah tercabut dari tanah, kelihatannya dilakukan oleh seorang perusak.
Malam itu, Nyonya Hayakawa bermimpi tentang kakeknya yang sedang sangat marah. Tetapi ketika makam diperbaiki seperti keadaan semula, Nyonya Gibo bisa melihat bahwa sekarang kakek itu puas; rohnya kembali dalam kedamaian.
Ketika Nyonya Gibo mengatakan kepada ibunya bahwa kekuatan paranormalnya kembali, ibunya mengeluh, “Oh, tidak!” dan tak mau berbicara dengannya selama tiga hari.
Sampai di sini, pembicaraan Nyonya Gibo terpotong oleh kedatangan produser, dan kami pergi makan siang. Kemudian pada sore hari itu, sebuah bis membawa kami semua ke Croydon untuk mengunjungi King’s Cellars.
Ternyata pub itu telah berganti nama menjadi Goody’s. Karena hari itu hari Minggu, pub tutup. Bar berhantu ada di lantai dasar. Pemiliknya, seorang gadis cantik bernama Tracy, membawa kami turun ke sana.
Begitu kami mulai menuruni tangga, Nyonya Gibo berhenti dan berkata, “Saya bisa melihat seorang lelaki terbaring di kaki tangga”. Mendengar itu, saya jadi sadar bahwa saya telah melanggar salah satu peraturan pertama dalam riset mengenai masalah dunia roh, karena sebelumnya saya sudah mengatakan pada Nyonya Gibo bahwa lelaki pemiliknya ditemukan meninggal di kaki tangga. Oleh sebab itu, saya berpendapat bahwa penglihatannya tidak bisa dipandang sebagai bukti yang meyakinkan.
Ketika kami sampai di bar itu, Nyonya Gibo berhenti lagi dan membelalak. “Seorang gadis baru saja melintasi ruangan dan menghilang di balik dinding itu”. Saya memintanya untuk melukiskan dengan tepat dari mana datangnya gadis itu, dan ia menunjuk dinding di belakang bar. Saya pergi ke belakang bar itu untuk melihat apakah mungkin pernah ada sebuah pintu di sana, tetapi jelas bahwa yang ada di situ hanya dinding.
Saya mewawancarai Nyonya Gibo di depan kamera. Sesudah itu saya mewawancarai Tracy di belakang bar itu. Ia menceritakan kepada saya bahwa hantu yang suka mengganggu itu masih aktif –gelas-gelas sering jatuh dari meja dan pecah, dan pada saat lain pompa bir mulai bekerja sendiri dan menumpahkan bir ke lantai.
Sampai di situ, kamera berhenti untuk penggantian film. Saya berdiri sendirian di belakang bar, sambil berbicara dengan Tracy. Sejak saat itu, harus saya akui bahwa skeptisisme saya benar adanya, dan saya mulai merasa bahwa semua itu hanya membuang-buang waktu saja. Walaupun tidak meragukan ketulusan Nyonya Gibo, saya mulai berpikir-pikir apakah ia tidak membiarkan imajinasinya dipengaruhi oleh apa yang telah saya katakan padanya. Bagaimanapun, sangatlah tidak lazim bahwa gangguan oleh hantu bisa berlangsung sampai sepuluh tahun.
Sementara saya berdiri sambil berbicara dengan Tracy, terdengar dentingan keras di belakang saya. Saya berbalik dan melihat sebuah gelas yang berat telah jatuh ke lantai. Untuk sesaat saya sempat berpikir jangan-jangan gelas itu tersenggol mantol panjang yang saya kenakan. Tetapi saya sadar itu ditaruh di rak-rak kecil di bagian bawah meja layan; jaraknya paling tidak satu meter dari tempat saya berdiri. Saat itu hanya ada saya dan Tracy di belakang bar itu, dan tidak mungkin ada orang lain dari sisi lain yang bisa menyebabkan jatuhnya gelas. Tiba-tiba, dengan rasa terkejut, saya menyadari bahwa hantu itu membuktikan keberadaannya pada saya.
Cepat-cepat saya memanggil produser, dan kamera mengambil gambar saya yang sedang mengambil gelas. Sementara itu, Maurice Grosse, teman peneliti dari Society for Psychical Research, mengatakan bahwa ia melihat gelas itu jatuh dari rak seakan-akan ada yang mendorong. Ia berdiri di sebelah paling ujung meja bar itu sambil minum segelas anggur, dan bisa menyaksikan saat gelas itu bergerak sendiri.
Saya berbalik dan membungkuk di atas lantai tempat gelas tadi jatuh yang kini sudah bersih dari serpihan beling, sambil berkata, “Terima kasih”. Tiba-tiba, rasa skeptis saya hilang.
Sepuluh menit kemudian, ketika kami selesai membuat film, saya mampir lagi ke meja bar untuk minta segelas anggur lagi. Saat itu Tracy sedang berdiri dan bercakap-cakap dengan seorang teman wanitanya. Menurut apa yang saya dengar, mereka sedang membicarakan pemilik tempat itu yang telah meninggal. Sampai saat itu saya tidak bisa memperoleh informasi tentang sang pemilik yang telah meninggal itu –namanya pun tidak- dan dalam buku Poltergeist pun ia hanya disebut-sebut sebagai pemilik pub ini. Sekarang saya mendengar Tracy menyebutnya sebagai Bernard, lalu saya bertanya kepadanya dari mana ia tahu nama itu.
Tampaknya Tracy mengetahui nama itu secara kebetulan belaka. Seminggu sebelumnya alat pemadam api tidak berfungsi dengan semestinya. Label pada alat pemadam itu mencantumkan alamat perusahaan yang mengurusnya. Ketika Tracy menelepon perusahaan itu dan memberikan alamatnya, gadis yang menerima teleponnya berkata, “Bukankah tempat ini dulunya bernama King’s Cellars? Saya pernah bekerja di sana sekitar tahun enam puluhan”. Kemudian Tracy bertanya apakah gadis itu tahu sesuatu tentang hantu-hantu di tempat itu. “Hantu itu adalah si pemilik tempat itu sendiri yang bernama Bernard. Pada suatu hari Minggu, ia pulang larut malam dalam keadaan mabuk berat, lalu terjatuh di tangga. Ia ditemukan pagi harinya, lehernya patah”. Kemudian Tracy bertanya apakah mungkin ada juga hantu-hantu yang lain. “Ya, hantu dari seorang gadis yang bunuh diri. Ia bertengkar dengan pacarnya di pub dan kembali bekerja di gedung yang bersebelahan dengan pub itu. Beberapa saat setelah bertengkar dengan pacarnya itu, si gadis menjatuhkan diri dari atap. Tubuhnya jatuh di atap pub dan ia tewas”.
Saya amat senang, dan cepat-cepat mengatakan kepada si produser apa yang baru saja saya dengar. Kami tidak hanya jadi tahu nama bekas pemilik tempat itu, tetapi juga sesuatu mengenai gadis yang telah dilihat Aiko Gibo. Selain itu, kami punya seorang saksi yang pernah bekerja di pub itu, yang dapat menceritakan pengalamannya di depan kamera.
Satu jam kemudian, Nyonya Gibo dan saya sampai di hotel tempat kami menginap. Sementara itu, kru kamera yang tidak merasa ngeri bersiap-siap untuk berjaga sepanjang malam di bar itu, untuk memfilmkan penampakan apa pun yang bakal terjadi. Tahu bahwa hantu-hantu pembuat gaduh itu terkenal malu dipotret, saya merasa yakin usaha yang dilakukan kru juru kamera itu hanya membuang-buang waktu saja. Ternyata benar. Esok paginya, mereka kembali ke hotel, lelah dan kecewa. Hantu itu, seperti yang saya duga, tak mau “beraksi”.
Tetapi saya, sekurang-kurangnya, telah memberikan bukti mengenai hantu-hantu pembuat gaduh itu –dan tentang kekuatan luar biasa yang dimiliki Nyonya Aiko Gibo.
Langganan:
Postingan (Atom)